SANG AKASIA PENGABDI RINDU SUNGKAWA

SANG AKASIA PENGABDI RINDU SUNGKAWA

Karya Ledy Triananda

Cerpen Perjuangan - Hari ini tak seperti biasanya. Tak segan-segan kupandang dengan tatapan canggung pada langit dunia. Awan tebal itu berarak menyelimuti sang mega lazuardi. Senja ini, tak ada lagi kicauan burung yang biasa temani sang surya terbenam pada ufuknya. Entah kemana perginya mereka. Bersembunyi karena mistisnya suasanya, atau pergi berkelana mencari tempat yang layak baginya. 

Suara denting waktu itu masih terngiang miris di telingaku. Teringat pada suatu kejadian yang tak mampu kujabarkan terlalu dalam. Luka pedih itu kian lama kian menyayat benak ini saat mengingat keberadaan Bapak dan Ibu yang tak lagi di sisiku. Aku masih tak percaya, mengapa Bapak dan Ibu begitu cepat meninggalkanku. Satu tahun yang lalu, Bapak dan Ibu meninggal karena tertimpa pohon Akasia yang sengaja di tebang oleh orang-orang yang tak beradab. Dan kini, aku hidup seorang diri. Hidup dalam kesederhanaan. Tak ada yang menemaniku. Aku hanyalah gadis yang tinggal di sebuah desa penuh dengan arti kenangan yang tak pernah rapuh. 

Inilah sosokku. Seorang gadis cilik yang tak mengerti makna kehidupan sebenarnya. Aku hanya dapat menghabiskan waktu luangku untuk duduk di atas pohon Akasia. Di sinilah, aku merenung segalanya. Merenungkan impianku. Membangun sebuah mimpi, dan merenung segala hal yang akan membawaku pergi menuju ambang batas tujuanku. Sekarang, aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ini adalah tahun pertama aku bersekolah di sana. Setelah kejadian yang menimpa Bapak dan Ibu, Bibi yang selalu mengurusku, membiayayai urusan sekolahku, dan keseharianku. Tetapi, kami tidak tinggal satu rumah. Bibi harus tinggal bersama keluarganya di desa seberang. 

Senja ini, aku masih terduduk di antara jajaran pohon Akasia menjulang. Melihat mentari yang akan kelam digua bibir misteri, melihat hamparan sejuk rerumputan yang menabur benih suka dalam sukma, dan menatap tatapan tajam pada sinar surya yang telah berubah menjadi jingga. Begitu memukau untuk menujukkan beribu rasa takjubku pada ciptaan Tuhan yang elok ini. 

“Hei, Pertiwi!” teriak seseorang dari bawah pohon. Aku masih tak sadar dengan teriakkan itu, “Hallooooooo!!!” teriaknya semakin keras. Aku terkejut. Segera aku melihat kebawah. Ku lihat, ketiga sahabatku sedang berdiri menatapku. Ya, merekalah sahabat terbaikku. Agus, Erna, dan Garuda. Tak ada satu kata yang terucap dari bibirku. Aku masih terdiam. Diam seribu kata.

“Bolehkah kami naik ke atas?” Tanya Erna. 

“Silahkan!” Jawabku seadanya. Mereka satu per satu segera memanjat, naik ke atas pohon. Selang beberapa menit, Garuda, Agus dan Erna sudah terduduk di ranting pohon Akasia.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Agus memulai pembicaraan.

“Apa yang biasa kau lakukan di atas pohon saat senja telah tiba seperti ini, makan ketela? Lagi pula kau sudah mengerti kebiasaanku duduk di atas pohon ini bukan?” Jawabku dingin tak menghiraukan senyumannya.

“Hahaha…” Agus tertawa, “Aku bercanda, Wi.” Kata Agus menepuk pundakku. Aku tersenyum kepada mereka bertiga yang menertawakanku.

“Oh iya, Wi. Kami sudah lama tidak mengunjungi makam orangtuamu bersama-sama bukan?” Tiba-tiba saja Erna membuatku berpaling menatap kedua matanya dalam-dalam. Pikiranku mulai melayang pada kejadian satu tahun yang lalu. Lagi-lagi, ingatan tragis itu memenuhi benak dan pikiranku. Sejenak, aku menahan air mata yang mulai terbendung di mataku. 

“Maaf jika aku mengingatkanmu pada masa lalu yang sebenarnya tak ingin kau ingat kembali, aku tak bermaksud membuatmu sedih seperti ini. Kami hanya ingin mengunjungi-” Erna tidak melanjutkan apa yang ingin ia biacarakan, ia malah menundukkan kepalanya. 

“Bagaimana kau bisa tahu?” Tanyaku pada Garuda. Dahiku mengernyit.

“Kepalamu begitu transparan, sehingga dengan mudah aku dapat menebaknya!” Timpal Garuda. Cibiran di mulutnya membuatku semakin tertawa terbahak-bahak dengan apa yang ia katakan. Air mataku tiba-tiba saja hilang, terganti dengan tawa yang sedang kurasakan.  

“Ada-ada saja kau ini.” Aku memukul lengan Garuda, “Terimakasih, teman-teman! Tetapi jujur saja, aku tidak ingin merepotkan kalian semua.” Lanjutku.

“Kami tidak merasa keberatan sama sekali, Wi. Kau harus bersabar. Meskipun kami tak pernah merasakan hal yang kini kamu rasakan. Tetapi, kami akan selalu ada untukmu.” Ujar Agus. Aku mengangguk mantap. 

“Iya! Tidak ada salahnya kan kami ikut mendoakan kedua orangtuamu? Wi, ini semua takdir Tuhan. Ingatlah pula, rencana Tuhan itu jauh lebih indah dari pada yang kita bayangkan.” Erna membeberkan senyum yang indah. Sesaat, aku tak bisa berkata apa-apa. Semua kata-kata yang Agus dan Erna ucapkan seolah mampu menyihir kepribadianku, untuk belajar bersyukur dengan keadaan yang kini kualami.

“Hari semakin gelap, bagaimana kalau kita pulang saja.” Kataku mulai turun dari pohon, menapaki anak tangga perlahan-lahan. Garuda, Agus, dan Erna mengangguk dan segera turun mengikutiku. Kami berempat telah turun dari pohon, “Kalian mau mampir sejenak di rumahku mungkin?” Aku mulai berjalan mendahului Garuda, Agus, dan Erna.

“Tidaklah, terima kasih. Nenek telah menungguku di-” perkataan Garuda terpotong saat Agus berhenti berjalan.

“Besok kita berangkat ke pemakaman, pukul sembilan pagi ya! Aku tunggu kalian di tempat biasa. Di pohon Akasia!” Kata Agus sembari menunjuk pohon Akasia yang baru saja kami duduki. Ia bergegas pulang meninggalkanku, Erna, dan Garuda, “Oh iya, dan jangan lupa! Pamitlah kepada orangtua kalian masing-masing!” Lanjutnya sebelum pergi meninggalkan kami yang masih diam terpaku. 

***

Pagi harinya, aku telah selesai bersiap-siap diri. Jam dinding menujukkan pukul delapan pagi. Aku tidak sabar untuk pergi ke pemakaman Bapak dan Ibu. Aku putuskan untuk menunggu Garuda, Erna, dan Agus lebih cepat di tempat semula kami putuskan bersama. Aku menaiki pohon Akasia. Duduk termenung, menunggu kedatangan ketiga sahabatku. 

Satu jam berlalu dengan cepat, aku yakin kini jarum jam telah menunjukkan pukul sembilan pagi, dan sampai saat ini pula, mereka belum juga datang menemuiku.

‘Apa mereka lupa jika harus menemuiku di sini pukul sembilan?’ batinku. Aku tak yakin, ‘Tapi, kemarin Agus sendiri yang bilang harus berkumpul di sini pukul sembilan pagi.’ Aku mulai resah, memikirkan keterlambatan ketiga sahabatku. Aku khawatir rencana yang kami buat tidak berjalan dengan lancar.

“Apa aku menjemput mereka saja? Tapi rumah mereka lumayan jauh dari sini.” Perasaanku mulai bimbang, antara turun dari pohon untuk menjemput Garuda, Erna, dan Agus atau menunggu hingga mereka bertiga datang. Tanpa berpikir lama, kuputuskan untuk menunggu kedatangan mereka.

“Pertiwi, turunlah! Orang-orang itu kembali lagi untuk menebang pohon-pohon ini!” teriak Asri, temanku, dari bawah pohon. 

“Benarkah? Di mana mereka berada?” Aku menongah ke bawah pohon. Perkataan Asri membuatku masih bertanya-tanya.

“Iya! Sekarang mereka masih ada di gapura desa! Kita harus mencegahnya. Erna, Garuda, dan Agus sedang mencegah mereka agar tidak masuk desa!” Jelas Asri. Aku spontan terkejut dengan apa yang baru saja Asri katakan. Ternyata Erna, Agus, dan Garuda sedang mencegah orang-orang itu. Orang-orang itu kembali lagi untuk menghancurkan desa ini. Pohon-pohon ini akan ditebang.

“Baiklah, kita harus turun menghentikan mereka.” Jawabku tegas. Aku segera turun dari pohon.

Bruk… “Aduuuuuh! Pinggangku!” teriakku tak karuan. Aku terjatuh dari pohon. Asri tertawa geli melihat insiden ini. 

“Ceroboh sekali kau ini, Wi. Yasudahlah, abaikan dulu rasa sakit di pinggangmu itu. Mari kita cegah mereka!” Asri segera menarik tanganku. Kami berlari menuju gapura desa. Aku dan Asri berlari sekencang mungkin menghentikan mereka yang berusaha memasuki desa untuk menebang pohon-pohon kehidupan kami. Beberapa menit kemudian, aku dan Asri tiba di gapura desa, kudapati teman-temanku sedang menghadang mereka agar tidak masuk kedalam desa. 

“Hei, kalian! Pergi dari desa kami!” teriakku dari kejauhan, orang-orang itu terdiam menatapku. Aku berjalan mendekati mereka yang sedang menyandra sahabat-sahabatku. Tiba-tiba saja mereka tertawa saat aku datang mendekati mereka.

“Tahu apa kau ini! Tak mengerti urusan uang saja, ikut campur. Menyingkirlah kalian, atau kami yang akan menyingkirkan kalian dengan cara kekerasan!” Ancam salah satu lelaki dari mereka. Badannya begitu kekar dan gagah, jika kami melawan secara fisik, pasti kami akan mati sia-sia, “Hei, bocah cilik, tak usah menjadi pahlawanlah! Ke mana perginya sandalmu yang satu? Hahaha…” Lanjutnya mencemoohku. Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Aku pun baru saja menyadari bahwa aku hanya memakai sepasang sandal di kaki kananku, dan di kaki kiriku hanyalah sebuah kaki polos tanpa alas. 

“Wi…” Panggil Garuda lirih dengan tatapan yang sontak membuatku merasa malu.

“Terserah kalian ingin mencemoohku seperti apa! Kami tidak akan rela kalian menebang pohon-pohon yang ada di desa kami. Kami tidak akan mengizinkan kalian menebang pohon-pohon kami untuk kedua kalinya. Tidak akan! Kalian ini bisanya hanya menggunakan cara licik! Datang saat Kepala Desa kami sedang pergi ke kota.” Elakku tanpa ada rasa takut dari dalam diri terhadap orang-orang tersebut. Sesungguhnya, mereka-mereka itu adalah manusia yang hidupnya hanya bergantung pada besarnya jumlah uang yang akan mereka terima selama nyawa masih dikandung badan, tak pernah memikirkan dampak buruk lingkungan apabila pohon-pohon itu ditebang. 

“Hahaha…” Mereka dengan serentak menertawakanku, Asri, Erna, Garuda, dan Agus, “Hei, bocah! Kau ini tak tahu apa-apa. Jadi diam dan tutup mulut kalian! Pulanglah kerumah kalian masing-masing, jangan membuat kami pusing sendiri memikirkan kau-kau ini!” Tampaknya mereka sudah habis kesabaran menghadapi kami berlima, mereka semakin geram terhadap kami. Salah satu dari mereka, segera menghidupkan mesin truk, dan menjalankan truk masuk ke desa untuk mulai menebang pohon-pohon Akasia berjajar indah pada wajarnya. Kami berlima resah memikirkan bagaimana caranya kami mencegah orang-orang itu agar tidak menebang pohon-pohon Akasia tumbuh. 

“Hei, Bung! Ayo kita kejar mereka, kita tak boleh menyerah. Lingkungan lebih penting dari pada di sakiti oleh orang-orang celaka itu! Kita lindungi pohon-pohon itu! Cintailah lingkunganmu!!!” teriakku.

“Hingga titik darah penghabisan!” Gertak Garuda semakin membara. Ia berlari lebih dulu dari pada kami. Aku, Asri, Erna, dan Agus segera mengikuti Garuda yang sudah ada di depan kami.  Kami mengejar truk itu. Rasa amarah kami mulai meletup-letup.

“Tunggu sebentar!” Kata Asri terhenti, ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan nafasnya, “Pertiwi! Mengapa kau masih mau memakai satu sandal di kaki kananmu? Lepaslah! Lebih baik tidak memakai alas kaki, daripada warga mengira kau sudah gila.” Ujar Asri mengingatkanku.

“Hehehe…” Aku tersenyum malu. Pipiku berubah menjadi merah merona. Aku segera melepaskan sandal yang mengapit ibu jari dan jari telunjuk kakiku. Ku arahkan sandal itu tepat pada mukaku. Kuputar-putar sandal itu lalu kubuang jauh-jauh sandal itu dari pandanganku. Entah ke mana dan di mana sandal itu akan jatuh. Entah akan mengenai para petani yang sedang panen di sawah atau tidak. Entahlah. Aku tak memikirkan itu. Kali ini, aku tak memikirkan lagi sakit pinggang dan akibat sandal sial yang membuatku malu sendiri dihadapan orang-orang itu dan para sahabatku, aku akan berusaha menghentikan mereka menebang pohon milik kami. Terpikir tiba-tiba tentang rencanaku bersama ketiga sahabatku pergi menuju pemakaman Bapak dan Ibu. Rasa risau itu mengiringi laju langkahku. 

‘Pak, Bu, Pertiwi akan berusaha menghentikan mereka! Pertiwi akan datang ke pemakaman Bapak dan Ibu dengan membawa kabar bahagia. Tuhan, akan selalu ada untuk Pertiwi. Pertiwi ingin Bapak dan Ibu melihat usaha Pertiwi di sini. Bapak dan Ibu masihlah menjadi jiwa inspirasi bagi Pertiwi untuk tetap melindungi lingkungan dan pohon-pohon di desa.’ Batinku. Aku berlari dengan senyum tulus yang melengkung di bibirku. Berusaha sekuat tenaga kuabaikan perasaan bimbang itu dan kembali mengejar truk yang mulai menjauh dari tatapanku. Aku berlari mengejar truk itu. Meskipun langkahku masih tak mampu menandingi kecepatan truk tersebut. 

Sesampainya di sana. Aku melihat mereka sudah mengeluarkan gergaji besar untuk menebang pohon-pohon itu dengan segera. 

“HENTIKAN!!!!!!!” Teriakku lebih keras. Mereka semua keluar dari singgasana mereka berada. Tetanggaku, menghentikan aktivitas yang mereka lakukan dan berkumpul mengerubungiku. Aku maju satu langkah dari titik di mana aku berdiri, “Memang, desa ini adalah desa terpencil yang mungkin memang bisa di abaikan oleh Negara. Tapi kami tidak bodoh! Kami tidak patut dikelabuhi oleh orang-orang yang tak punya hati, dan tak punya adab seperti kalian!” Timpalku lebih tajam. Orang-orang itu hanya memandangku remeh. 

“Tidak ada gunanya kau melarang kami untuk menghentikan penebangan ini. Kami akan tetap menebang pohon-pohon ini!” Mereka-mereka semakin membuatku marah. Aku berlari menuju pohon-pohon Akasia berjajar. 

“Jangan kalian tebang pohon-pohon ini! Mereka butuh hidup! Mereka butuh mempertahankan hidupnya di dunia ini. Mereka masih muda, mereka belum rapuh. Merekalah yang memberikan oksigen terhadap kami.” Aku berteriak mempertahankan pohon-pohon ini agar penebangan segera di hentikan. Sahabat-sahabatku hanya melihatku dengan pandangan putus asa, “Hei, Garuda, Erna, atau siapalah kalian yang berdiri di sana! Kalian mengapa masih saja diam? Tidakkah kalian peduli dengan pohon-pohon ini? Jawab!!!” Air mataku mulai berlinang, membasahi kedua pipiku, segera Erna, Garuda, Agus, dan Asri datang membantuku menghadang orang-orang itu untuk tidak menebang pohon kehidupan kami.

“Aaahhh! Minyingkirlah kau anak tidak tahu diri!” Mereka mendorongku dan sahabatku. Aku dan yang lainnya terpental jauh dari pohon-pohon tersebut, segera Erna, Garuda, Asri, dan Agus menjauh dari tempat mereka jatuh. Aku hanya dapat menangis dengan keadaan ini, aku tak ingin dan tak mampu beranjak dari tempat aku terpuruk. Mereka mulai menyalakan mesin dan menggergaji batang pohon Akasia yang cukup besar. Sahabat dan tentanggaku masih melihatku dengan perasaan iba yang terurai terlalu dalam. Aku masih saja menangis, tidak tega menjalani kenyataan ini. Satu pohon Akasia besar telah tertebang.

“Pertiwi! Awas!!!” Jerit Erna dari kejauhan, aku segera mengalihkan pandanganku pada batang pohon Akasia yang jatuh mengarah padaku. Aku tak dapat menghindarinya. Batang Akasia tersebut sangat cepat menjatuhi tubuhku. Aku tertimpa batang pohon Akasia. Entah bagaimana ini bisa terjadi. Aku tak tahu. Aku tak mengerti. Dalam raga ini tak lagi terpahat jiwa syahdu elok empati rindu. Kejadian tragis itu terulang kembali. Satu tahun silam, batang Akasia yang mereka tebang juga menimpa Bapak dan Ibu, sehingga mereka berdua meninggal. Pada waktu yang bersamaan. Tetangga dan sahabatku segera mendatangiku yang tak sadarkan diri. Aku tergeletak lemah tak berdaya. Suasana sunyi, telah terasa. Kini, mulutku yang dahulu mampu tersenyum, tertawa bahagia, dan berkata hal yang memukau, kini hanya terkatup rapat dan pucat. Kedua tanganku yang dahulu mampu meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhku yang kian tak ada dayanya ini. Seketika, situasi di sekitar sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan tiap detik yang begitu menyedihkan. Aku telah tiada. Orang-orang yang tak tahu diri itu, segera pergi meninggalkan desa tanpa membawa sebatang pohon Akasia. Sesaat, semua rencanaku berubah menjadi hal semu. Aku tak bisa pergi ke pemakaman Bapak dan Ibu dengan membawa kabar bahagia untuknya. Mataku memang terpejam. Tapi aku masih dapat melihatmu. Tuhan… Mungkin memang satu pejamlah, aku bisa melihatmu, melihat keindahan ini, melihat orang-orang sekitarku dapat tersenyum karenaku. 

Keesokan harinya, aku telah di makamkan didekat makam Bapak dan Ibu, kenangan manis itu akan selalu ada untukku di desa ini. Semua warga di desa lebih mencintai lingkungan mereka. Mereka telah menanam benih pohon Akasia dan pohon-pohon lainnya lebih banyak. Mereka juga membersihkan desa dari sampah berserakan yang menganggu. Aku tak lagi ada di sana, tetapi aku yang di sini, jauh lebih bahagia dengan segala hal yang kalian ubah menjadi lebih baik di sana. Kali ini, aku telah sampai di ujung perjalananku. Seperti hujan. Aku penasaran bagaimana nanti aku akan dikenang, kuserahkan semua pada kalian. Salamku, untuk Akasia yang temaniku saat senja tiba, wahai sang pengabdi rindu sungkawa, yang mampu mengurai segala cinta yang menjalar pada luka sirna. Aku di sini, akan merindukan tiap hembusan nafas yang mampu iringi hidupku di sana. Dunia.

Copyright © Cerpen Menarik dan Populer. All rights reserved. Template by Amanbet