Pesan Rantai Kasih Sayang

Pesan Rantai Kasih Sayang

Cerpen Motivasi - Aku bukanlah siapa. Aku hanya seorang yang tahu apa arti hidup. Jika bagi dia hanyalah air es. Bagiku adalah sebongkah emas. Dia tahu namaku. Dia tahu dari mana aku berasal. Dan dia tahu siapa aku. Aku memang tidak sepertinya. Aku memang tidak seperti wajahnya. Dan aku memang tidak seperti dia. Namaku tak sebagus jabatan yang dia kasihkan untukku. Jabatan yang dia berikan memang tak sebanding dengan arti kehidupan yang telah dia berikan dalam hidup ini. Tin adalah jabatan untuk diriku.

“Tin sedang apa kau di sana?” suara riang terdengar dari belakang.
“Hai senang ada kau, aku sedang memancing ikan” , jawabku tersenyum untuknya.

Dia adalah perisai untukku. Wajahnya jelita, heraian rambut terurai nan indah, senyum lembut terlukis oleh bibirnya serta matanya yang berkilauan bagai berlian. Kusapa dia dengan sebutan Lulu. Lulu memang selalu ada untukku, dia selau menemaniku dan mengerti keadaanku. Kami selalu bermain bersama-sama di dekat kolam.

“Mengapa kau terus melamun Tin, apakah masih teringat amplop itu? ”, tanya dia keheranan.
“Entahlah, semua yang ada dipikiranku saat ini hanyalah ikan” , jawabku untuk mengilangkan keheranannya.

Pikirannya berhenti sejanak. Wajahnya lesu dengan kepala menunduk. Menelan ludah untuk dirinya terlihat satu kali. Tarikan nafas dalam ikut melukiskan keadaan.

“Aku tak tahu pikiranmu, tapi aku tahu perasaanmu Tin” , ucapnya menenangkan diriku.
“Sudahlah lupakan, mungkin itu suatu hadiah. Iya kan? ”, jawabku dengan pertanyaan yang tak ingin kutanyakan.

***

Sejak hari itu tak pernah lagi aku bertemu dengannya. Hari ke hari Lulu semakin menghilang. Mungkin dia lelah. Mungkin dia sedang pergi. Mungkin dia sakit. Dan mungkin dia bosan. Seluruh ingatan ini tertuju untuknya. Tak tahan rasanya tak bertemu dia selama enam hari ini.

“Lulu, Lulu, Lulu.....kau dimana?”, teriakku keras di pinggir kolam.

Aku masih ingat cerita yang pernah kau katakan padaku. Aku mengingatnya. Waktu itu aku sedang duduk di pinggir kolam. Kau jatuhkan amplop coklat itu dari atas kepalaku. Kau peluk aku dan kau basahi baju merahmu dengan air mata. Aku tak tahu apa isi amplop itu. Memang aku sudah menduganya, sejak kau berkata padaku kau akan periksa ke dokter karena kau sakit kepala. Ku sengajakan  tak membacanya.

Wajah lesu terungkap. Air suci tubuh berjatuhan dari mata air. Mungkin itu sebuah penyesalan yang tak ada habisnya. Aku berlarian kesana kemari mencari dia. Ya dia Lulu, aku tak tahan jika tak ada wajah jelita itu. Sampai saat ini memang aku tak pernah mengalami kemarahanku untuk dia. Namun, mengapa dia tak ada.

Kujalani hari-hari tanpanya. Langkahku semakin hari kian meredup. Angin yang bertiup dari barat berubah menjadi timur. Dalam hati masih terdapat segumpal luka yang belum terjawab. Berandai-andai aku untuk dirinya. Berandai-andai aku untuk menemuinya. Aku tak malu. Aku tak heran. Namun, aku yang menjadi sebuah keheranan dan kemaluan itu untuk dia.

“Apakah kau masih mengingatku?”, pertanyaaan terdengar dari belakang.
“Aku tak tahu apa yang telah aku katakan padamu dulu, sehingga kau marah padaku.” , jawabku untuknya.
“Mungkin itu yang menjadi kemarahanku untuk diriku sendiri, maafkan aku teman, aku yang telah melupakanmu.” , tanya terus terdengar.
“Kau siapa, aku tak tahu harus berbuat apa untuk memaafkanmu?”, tanyaku untuknya.
“Aku tak pernah menghilang, aku selalu ada, aku selalu ada dihatimu. Kau tak usah khawatir, aku akan selalu bersamamu sampai kapanpun” , jelasnya dengan suara lembut.
“Kau tak tahu betapa luka dihatiku belum terguyur air, kau tak tahu?” , rayuan itu dengan wajah lesu.
“Mungkin itu hanyalah kegagalan yang tertunda” , jawabnya sambil tersenyum

Berkatalah aku dalam hati. Aku akan memelukmu walau hanya sekejap saja. Aku tahu tak banyak yang telah kau lakukan untukku. Aku tahu tak banyak yang telah aku lakukan untuknya. Tapi aku tahu bahwa dia telah banyak melakukan kebaikan dalam hidupnya. Hatiku rasanya senang sekali bisa bertemu dengannya. Aku ingin selalu ada untuknya.

Entahlah, aku terbangun dari tidurku. Aku membuka mata dan aku menyadarinya bahwa dia telah tiada. Mungkin, memang itu yang harus aku katakan padanya bahwa aku selalu ada untuknya dan tidak mungkin aku melupakannya. Hariku selalu ada untuk menemani dirinya.

Aku ingat ceritamu. Ya, ceritamu saat kamu dekati aku di pinggir kolam itu. Kau luluhkan, kau senderkan pundakmu padaku untuk yang kesekian kalinya. Entah apa yang sedang kau pikirkan. Namun, itu mungkin suatu kesedihan. Kau pesankan aku agar mengikuti pentas itu, dan sampaikan salammu untuk dia yang hebat.

“Percayalah, kamu akan berhasil jika kamu lihat di bawahmu!”

Kata itu selalu teringat untukku yang takkan pernah kulupakan. Kini aku telah menggapainya. Kini kulakukan semua yang kau ajarkan. Untukmu  yang selalu ada untukku. 

***

Tertawaan dan cercaan bergemuruh ketika aku hendak bacakan puisiku untukmu. Kau berada di sana. Ya, aku merasakannya. Katamu selalu ku ingat dan ku pendam dalam hati. Perlahan-lahan ku hembuskan nafas. Sampai akhirnya akupun menemukan titik kepadatan hatiku. Ya, sekarang. Ini adalah keinginanmu. Ini adalah cita-citamu. Ini adalah peluang emasmu. Kini tak ada lagi yang bisa kutunda.

“Wahai kau yang berada di sana, dengarlah ucapku ini. Berdiri luang penuh dengan kepantasan. Menemui keanggunan bunga nan suci. Kau tak akan pernah. Tak akan pernah berhenti. Tak akan menjadikan bunga layu tak tersiram air”
        
Sorakan suara seorang penonton terdengar di antara heningnya panggung. Tak ada orang yang bersorak selain dia yang tengah memberikan semangat padaku. Semua penonton menyambut dengan meriah penampilanku. Seiring dengan sorakan penonton aku pun teringat kau. Aku merasakannya. Kau ada dalam hatiku, saat ini juga. Aku menganggukan kepala. Tak tertahan rasanya hembusan nafas lega untukku keluar dari panggung.

Saat yang paling aku tunggu telah datang. Hati berdetak kencang seolah tak tahan ingin mengetahui hasilnya. Entah apa yang ada pada kertas putih itu. Ku sebut namamu, kusebut dengan penuh kesabaran. Tak akan lupa kusebut Tuhan Yang Maha Kuasa. Detak jantung tetap terdengar keras. Tangan bergetar dan tak bisa bertahan untuk memohon doa, mulut seakan tengah menjalankan tugas dengan penuh cepatnya. Keringat dingin membasahi pipi. Saatnya, ku temukan jawaban untuk pertanyaanku selama ini. Pertanyaan yang memang harus ku cari tahu jawabannya.

Riuh tepuk penonton mengakhiri jumpa itu, tak ada satupun orang yang menghampiriku. Tubuh bersandar lengah di dinding tak ada tenaga untuk menghampirinya. Menghampiri dia yang hebat. Tetesan air mata telah membasahi pipiku. Telanan ludah kulakukan sesekali aku melihat juara itu. Ya, juara itu yang tak akan pernah kujumpainya.

“Ibu, kenapa aku tak dapatkan piala itu?”, suara tangisan kecil dengan rintihan yang mengharukan terdengar dari belakang. 

Tak tahan rasanya kepalaku untuk menoleh ke arahnya. Aku pun teringat. Teringat ceritamu. Ceritamu perisaiku. Untuk yang kesekian kalinya aku mengucapkan kata itu. Lihatlah ke bawah dan aku akan menyadarinya. Aku tersadar dan tak ada tangisan lagi yang terlihat di wajahku. Ku usap bersih air mata itu dengan sapu tanganku. Sekarang lautan telah menjadi daratan kering. Hatiku telah baku. Aku akan tetap bersyukur dengan apa yang telah ku lakukan sekarang.

“Wahai wajah kecil, bangunlah?”, suara keras dan besar mendekatiku.
“Aku?”, tanyaku padanya.
“Ya kamu gadis manis, berdirilah!”, tegasnya sekali lagi untukku.

Ku intip perlahan-lahan wajahnya. Kusadari dirinya. Seakan ku pernah mengenalnya. Tak ada sekali pun ingatanku untuknya. Tak ada sekalipun ku kedipkan mataku. Ku amati dengan penuh seksama. 

Ya, kini aku mengenalinya. Dia yang hebat. Dia yang terkenal. Oh, apakah ini mimpi. Seakan ku tak sanggup untuk menatap matanya. Dia adalah orang hebat dengan karya tulisnya yang terkenal yang telah menginspirasiku selama ini. Dia apakah dia, aku terheran melihatnya.

“Hei mengapa kau menatapku seperti itu?”, herannya dia untuku.
“Apakah kau yang selama ini menginspirasiku?”, tak ada kata lagi yang kuucapkan selain itu.
“Memang siapa penginspirasimu?”, tanyanya sambil tersenyum manis untukku.
“Kau penulis yang selama ini kukagumikah?”, ulangku sekali lagi.
“Mungkin, ayo berdirilah sejenak!”, tegasnya sambil mengangkat tanganku.

Tak ada yang bisa kuperlihatkan untuknya. Tak ada pula hasilku untuk ku perlihatkan padanya. Aku tak mungkin bisa sepertinya. Kuucapkan segala kekuranganku padanya. Aku sangat mengaguiminya.

“Kau hebat nak, kau penulis masa depan.” , tegasnya untukku.
“Apa yang hebat dari diriku? Aku tak juara, aku tak dapat sorakan penonton, dan aku tak memegang piala itu. Apa yang bisa aku lakukan?”, tanyaku sambil tersendu gelisah.
“Siapa yang mengira aku bisa seperti ini. Siapa pula yang mengira aku bisa sehebat yang kau bayangkan. Tak ada lagi yang mengira jika bukan diriku sendiri. Kau hebat nak, kau beranikan dirimu untuk pentas di depan umum, dengan penuh kepercayaan menggunakan bahasamu yang memang sulit kita pahami. Aku tak tahu apa isi puisi yang kau bacakan sangat pendek itu. Tapi aku yakin, bahwa itu merupakan puisi terbagus yang kau buat untuk pentas ini bukan?”, jelasnya panjang lebar padaku.
“Ya, memang ku membuatnya sesuai dengan isi hatiku pada waktu itu. Aku menceritakan perisaiku yang telah hilang entah kemana. Itu suara hatiku. Itu ungkapan rasa kasih sayangku untuknya. Mungkin itu sulit kau pahami, karena kau terlalu tinggi untuk memahaminya. Itu hanyalah kumpulan kata-kata yang biasa dia ucapkan untuk memotivasiku pada pentas ini. Dia sangat mengertiku, dia beri kepercayaan padaku. Entah apa yang membuat kita terpisah. Tapi aku yakin, dia pasti mendengarkanku pada saat aku membacakan puisi tadi. Bahkan,  ada satu kalimat yang tak bisa ku ungkapkan pada puisi itu. Karena kalimat itu yang selama ini menginspirasiku. Itu adalah kalimat dimana dia memberiku motivasi dengan penuh kepercayaan untuk menemuimu, dia menitipkan salam padamu lewatku” ,  jawabku dengan tatapan tajam padanya.
“Percayalah, aku telah bertemu dengannya. Kau beruntung mempunyai perisai sepertinya. Perisaimu kini aku, bukan dia. Sekarang dia telah menitipkan kau padaku” , jawabnya sambil tersenyum manis.
“Dari mana kau tahu bahwa dia menitipkanku padamu. Aku tak punya siapa-siapa selain dia. Bahkan aku tak tahu orangtuaku ada dimana. Ingatlah dia dan aku yang mengagumimu”, heranku padanya.

***

Memang semua keadaan tak bisa kita duga. Dengan penuh percaya diri aku ungkapkan semua isi hatiku padanya. Kuanggap dia seperti Lulu. Tak tahu apakah firasat ini benar. Namun, ku yakini Lulu tahu apa yang terbaik untukku.

Kini saatnya ku pastikan bahwa selalu ada jalan bagi orang yang mau berusaha. Itu katamu yang terakhir untukku Lulu. Ku ingat itu sampai aku akan bertemu lagi dengan Lulu yang selanjutnya. Terimakasihku untukmu tak akan pernah bisa dijual untuk menggantikan satu karung berlian yang bersinar terang di bawah laut. Kau pastikan keberhasilan untukku. Kau percayakan bahwa aku bisa. Itulah yang kini menjadi tanggung jawabku Lulu.

Seolah tak sadar dengan apa yang tengah aku raih. Dia mempercayaiku untuk menampilkan puisinya yang sudah dia rancang. Dia Lulu yang kau titipkan untukku. Bagiku tak ada Lulu pengganti selain kau yang selalu menungguku di dekat kolam. Namun, mungkin itu kau yang selama ini selalu ada untukku. Dia yang hebat, kini menjadi orang tuaku. Terimakasih Lulu.
Copyright © Cerpen Menarik dan Populer. All rights reserved. Template by Amanbet