Kau Cantik Hari Ini (Part 1)

Kau Cantik Hari Ini (Part 1)

Kau Cantik Hari Ini (Part 1) - “Mas, ada sedikit masalah dengan kereta yang akan ke Jakarta, mungkin perjalanan akan ditunda satu jam, mas sudah sampai di stasiun?, atau jika tidak mas bisa pulang dulu, nanti akan Dina kabari lagi kalau keretanya sudah berangkat”

Kulihat pesan panjang lebar di layar ponsel, pesan itu dari istriku Dina. Biasanya dia akan pulang dengan taksi ke rumah dari stasiun, tapi hari ini kami akan pergi makan malam bersama untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami yang kedua, karena itu aku datang menjemputnya.

“Mas sudah di stasiun, tidak apa-apa, mas akan menunggu disini saja, kabari mas kalau keretanya sudah berangkat” balasku, sejurus kemudian Dina mengirimkan pesan lagi padaku tanda mengiyakan.

Kupalingkan mataku keseluruh sudut stasiun mencoba mencari hal menarik yang bisa membuatku menunggu selama satu jam lebih tanpa harus merasa bosan, mataku terhenti pada cafetaria yang ada di sudut kanan stasiun, aku berfikir sejenak lalu mengurungkan niatku untuk melangkah kesana karena tidak merasa lapar atau haus.

Kutarik nafas panjang, mulai terlintas di otakku untuk pulang saja atau setidaknya ke luar dari stasiun sambil menunggu Dina, banyaknya orang yang berlalu lalang di stasiun ini membuatku mulai melihat-lihat, penumpang yang sedang mengantri membeli tiket, ada yang masuk dan ke luar dari stasiun, ada juga yang sedang menunggu keberangkatan, sekilas terdengar pemberitahuan bahwa keberangkatan kereta dari Jakarta ke Bandung akan ditunda karena keadaan rel kereta yang sedang diperbaiki.

Sekali lagi mataku melihat ke seluruh sudut stasiun, hingga berhenti pada sosok pria tua memegang sebuah tongkat kayu duduk di antara kursi tunggu penumpang, kuperhatikan baik-baik wajah laki-laki itu yang terasa tidak asing.

“Pak Burhan”, ucapku. Laki-laki itu tak lain adalah dosen pembimbing skripsiku saat di universitas dulu, aku sumringah, sudah enam tahun tidak berjumpa denganya membuatku bangun dari kursi dan melangkah mendekatinya yang sedang duduk dengan sebuah buku tebal di tangannya.

“Assalamualaikum pak Burhan”

“Waalaikumsalam, Dani?”

Dengan wajah penuh tawa aku mengangguk tanda mengiyakan, aku tidak menyangka ia akan mengingat wajahku dengan cepat padahal kami sudah lama tidak bertemu, kami lalu berpelukan, dengan raut wajah bahagia dia menepuk-nepuk pundakku sambil bertanya tentang kabarku.

“Kabar saya baik pak, bapak terlihat makin muda saja”

“Umurku saat ini sudah enam puluh delapan tahun, muda dari mana?, kau ini mengada-ada, apa kau sibuk?”

“Tidak pak”

Ia lalu menawarkanku untuk pergi ke cafetaria stasiun agar bisa berbincang-bincang lebih lama, aku mengiyakan, mungkin bicara dengan pak Burhan bisa membuatku tidak bosan menunggu Dina.

“Sudah berapa tahun kita tidak bertemu?” ujar pak Burhan membuka pembicaraan setelah memesan dua cangkir kopi latte untuk kami.

“Enam tahun pak, setelah wisuda saya dengar bapak pindah ke Bandung, hari ini bapak ada acara di Jakarta?”

Aku melihatnya diam seperti sedang berfikir, tapi ketika hendak menjawab pertanyaanku, seorang pelayan datang membawa pesanan kami.

“Silahkan dinikmati”

“Terimakasih”, aku kembali melihat ke arah pak Burhan yang sedari tadi hanya mengaduk kopi miliknya, aku jadi sedikit bingung.

“Ya, bapak pindah ke bandung setelah kau diwisuda, kau ini adalah mahasiswa terakhir yang mendapat bimbingan skripsi dariku, berbanggalah” tawanya pecah tapi tampak seperti dipaksakan, aku ikut tertawa untuk menghormatinya.

“Bapak memang tinggal di Bandung saat ini, tapi setiap hari rabu begini bapak ke Jakarta untuk ziarah” raut mukanya spontan berubah, ada sejurat rasa kesedihan yang kesepian yang terlihat.

“Ke makam istriku, Maria” lanjutnya sambil tersenyum kecil, sedikit menyesal aku menanyakan pertanyaan itu, mendadak suasana yang awalnya hangat berubah jadi hening.

Aku tidak terlalu mengenal pak Burhan kecuali sebagai dosen pembimbing skripsi yang baik dan dengan sabar membimbing mahasiswanya agar bisa menyelesaikan skripsi dengan baik, meskipun ada beberapa mahasiswa yang mengatakan bahwa pak Burhan adalah sosok dosen yang pendiam dan tidak banyak berinteraksi dengan mahasiswa kecuali mahasiswa didiknya.

Tubuhnya yang tinggi dan tegap bahkan sampai saat ini dikatakan karena beliau dulu pernah berlatih untuk menjadi seorang tentara, tapi tak ada yang tahu kenapa beliau ada di universitas kami dan menjadi salah satu dosen mata kuliah sejarah.

Sosoknya yang tertutup itu juga membuat beberapa mahasiswa mencari tahu tentang beliau, salah satu kabar terkenal yang tersebar di universitas kami adalah bahwa beliau menikah dengan guru SMA nya sendiri, dan sudah ditinggal meninggal oleh sang istri dua tahun sebelum beliau menjadi dosen.

“Kau pasti banyak mendengar berita tentangku bukan?”

“Iya pak, ada beberapa mahasiswa yang membicarakannya, tapi saya kira tidak semuanya benar” dia mengangguk, lalu mulai duduk tegap menghadapku.

“Kau mau mendengar cerita yang sebenarnya?” sedikit kaget aku hanya bisa tersenyum, dibalik kepribadiannya yang tertutup ia sebenarnya adalah orang yang hangat dan menyenangkan jika diajak bicara.

“Jika bapak mau, mungkin bisa jadi referensi untuk saya dan istri saya”

“Oh, jadi kau sudah menikah?, selamat anakku!, sudah berapa lama?, apa aku mengenalnya?”

“Dina Hendayani pak, mahasiswi manajemen angkatan 2007, seangkatan dengan saya, hanya beda fakultas”

“Dina Hendayani mantan putri kampus itu?, wah! Kau benar-benar beruntung anakku, semoga pernikahan kalian bahagia selamanya” ia menjabat tanganku penuh semangat, tawa kembali menghiasi wajah tuanya itu.

“Sering-seringlah memujinya, kau tidak akan tahu sampai kapan kalian bisa terus bersama, bisa jadi kau atau malah istrimu duluan yang akan pergi, terkadang seseorang itu baru tampak berharga ketika sudah tidak bersama kita lagi”.

Dia merapikan duduknya lagi, kali ini lebih menyandar pada kursi, aku melihatnya melihat ke arah jendela sejenak lalu menatapku.

“Aku sangat mencintai Maria, tapi tak pernah bisa kuucapkan bahkan ketika dia sudah menjadi istriku, hal itulah yang membuatku menyesal”

Pak Burhan mulai bercerita tentang sosok sang istri bernama Maria yang amat ia cintai, wanita keturunan belanda itu adalah guru bahasa inggrisnya saat masih duduk dibangku SMA, bukan guru yang sesungguhnya, tapi guru magang yang menggantikan guru bahasa Inggris di sekolah tersebut yang sedang cuti karena melahirkan selama empat bulan.

Wajah khas wanita belanda membuat Maria disukai oleh banyak siswa laki-laki di sekolah, terlebih umurnya yang waktu itu masih dua puluh satu tahun, dengan umur yang masih sangat muda dan wajah yang cantik, Maria menjadi incaran banyak siswa laki-laki khususnya yang duduk di kelas dua belas.

Tapi diantara semua laki-laki itu, hanya siswa laki-laki bernama Burhan saja yang seolah tidak terlalu peduli dengan kecantikan Maria, dengan sikap remaja berusia delapan belas tahun Burhan sering melakukan berbagai macam hal untuk mengerjai Maria, mulai dari menyembunyikan sepatu, mengempeskan ban sepedanya, sampai buku pelajaran yang awalnya ada di atas meja guru tapi mendadak berpindah ke meja siswa saat Maria masuk ke kelasnya untuk mengajar.

“Ah, dia itu cuma guru magang, kenapa harus dihormati?” begitu tanggapannya ketika ditanya tentang sikapnya yang terlihat mulai tidak sopan kepada wanita tersebut.

Hingga pada satu hari saat mata pelajaran bahasa Inggris sedang berlansung, ia meletakkan sebuah kotak yang dibungkus cantik dengan kertas kado bewarna merah muda dan pita merah di atas meja guru.

“Apa ini Burhan?” tanya Maria dengan logat Belandanya.

“Ucapan maaf saya bu karena sudah sering nakal kepada ibu, dari lubuk hati yang paling dalam saya menyesali perbuatan saya, saya harap ibu mau memaafkan saya” raut wajah Maria berubah bahagia, hatinya mungkin senang karena Burhan akhirnya menyadari kesalahannya dan mau meminta maaf.
Tanpa ragu ia raih kotak ini, masih dengan wajah senang tangannya bergerak membuka pita dan perlahan membuka kotak, tapi tiba-tiba Maria melempar kotak tersebut karena kaget dengan isinya, sebuah katak besar berwarna hijau meloncat ke luar dari dalam kotak diiringi dengan tawa keras Burhan dan teriakan para siswi perempuan di kelas itu.

“Rasakan!” ujarnya sambil terus tertawa keras memegangi perutnya, tawanya makin menjadi ketika katak hijau itu melompat-lompat di sekitar kelas dan membuat suasana kelas makin gaduh.
“Cukup!, hentikan!, apa yang membuat kamu begitu membenci saya?!” bentaknya, wajah putihnya memerah karena menahan amarah, matanya mulai berkaca-kaca dengan nafas yang cepat ia seakan sedang mencoba menahan emosinya tapi gagal.

Suasana kelas yang awalnya gaduh mendadak sepi, semua siswa mendadak diam karena tak pernah sebelumnya melihat Maria yang anggun itu marah, matanya masih menatap ke arah Burhan yang kini sudah berhenti tertawa dan masih berdiri di sampingnya, air matanya mulai menetes, ia terus mencoba mengatur nafas dan menahan amarahnya namun tetap gagal.

“Saya akan pastikan kami menyesali perbuatan kamu ini!” ia merapikan bukunya lalu dengan cepat pergi meninggalkan kelas dengan wajah yang dipenuhi air mata, kelas yang semulanya sempat hening kini kembali riuh karena Maria meninggalkan kelas dalam keadaan menangis.

“Kali ini kau sudah kelewatan Burhan” ujar seorang siswa laki-laki yang berjalan menghampirinya lalu memepuk pundak Burhan. Seketika saja hatinya menjadi gundah, Maria biasanya tidak akan marah jika dikerjai, tapi kali ini?, Burhan yakin pasti akan ada hal buruk yang akan menimpanya.

Terang saja, keesokan harinya sebuah surat pemanggilan orangtua diberikan kepada Burhan, kali ini dengan ancaman apabila orangtuanya tidak datang menghadap kepala sekolah, maka ia akan dikeluarkan, ia semakin gundah karena sebulan lagi akan ada ujian kelulusan bagi siswa kelas dua belas.

Hari dimana kedua orangtuanya dipanggil, Burhan mendapat kabar bahwa Maria sudah memaafkannya dan meminta agar kepala sekolah tidak mengeluarkan Burhan dari sekolah, permintaan itu pun disetujui oleh kepala sekolah dengan timbangan bahwa Burhan harus berjanji tidak akan mengerjai Maria lagi, kesepakatan itu akhirnya disetujui pula oleh Burhan melalui orangtuanya yang tampak sangat kecewa dengan perbuatan anak mereka.

“Bapak sebandel itu ketika SMA?, lalu bapak mulai bersikap baik pada Maria?”
“Aku sudah punya niat untuk begitu, tapi minggu selanjutnya saat pelajaran bahasa Inggris, Maria sudah tidak mengajar lagi, katanya dia sudah pindah ke luar kota” ujar pak Burhan lalu meneguk kopinya yang sudah habis setengah.

Satu tahun kemudian Burhan yang sudah menjadi mahasiswa pindah ke Jakarta untuk kuliah, mengambil konsentrasi fakultas olahraga dengan harapan bisa melanjutkan pendidikannya di militer nanti setelah menjadi sarjana, sikapnya yang sudah berubah semenjak lulus dari sekolah membuatnya tidak terlalu sulit untuk mengikuti dan menyelesaikan seluruh mata kuliah dan tugas-tugas yang diberikan padanya.

Hingga pada semester terakhir tahun keempat, ia ditugaskan untuk membuat sebuah penelitian agar bisa lulus dari kuliahnya, hal itu ia terima dan jalani dengan baik pula dengan selalu datang dan menjumpai dosen yang telah ditunjuk mendampinginya menyelesaikan pendidikannya.

“Saya harus cuti beberapa waktu karena saat ini suami saya sedang dirawat di luar kota, lanjutkan penelitianmu dan saya sudah menunjuk satu orang asisten dosen untuk membantu membimbingmu, jangan khawatir saya yakin dia bisa membimbingmu dengan baik” suara perempuan paruh baya yang tidak lain adalah dosen pembimbingnya membuat Burhan hampir saja patah semangat, tapi meski begitu ia tidak bisa memaksa agar dosen itu tetap bisa mendampinginya dengan kondisi suami yang baru saja menjalankan operasi jantung.

Lalu hari yang ditetapkan untuk bertemu dengan dosen pembimbing yang baru pun tiba, kali ini Burhan tidak mau menerapkan harapan yang terlalu tinggi tentang dosen pembimbingnya, ia hanya ingin segera lulus dan bisa melanjutkan pendidikannya di sekolah militer yang dari dulu ia impikan.
“Burhan? Sudah lama tidak bertemu, dunia ini kecil sekali ya?” Burhan membulatkan matanya seakan tak percaya siapa kini yang sedang berdiri tegak di hadapannya dan menjadi dosen pembimbingnya.

“Maria?”
“Benar, aku masih ingat kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya, dunia ini kecil ya?”, pak Burhan tersenyum. Senyum yang belum pernah kulihat semenjak tadi pertama kali bertemu dengannya.
Pertemuannya dengan Maria membuatnya bingung sekaligus takut, bayangan kenakalan yang pernah ia lakukan pada Mari langsung terlintas satu persatu setiap kali ia harus bertemu dengan Maria untuk bimbingan.

“Sikapmu sudah banyak berubah, karena pertambahan usia?” wanita itu kini duduk di depannya, dengan dress ungu muda selutut dan rambut yang dikuncir belakang sama sekali tidak memperlihatkan bahwa ia adalah seorang asisten dosen yang sedang membimbing mahasiswa.
“Apa kau ingin membalas semua perbuatanku lima tahun yang lalu?”

“Kau masih memikirkan itu?, tenang saja saat itu aku masih berfikir bahwa kau itu hanya seorang anak kecil, jadi jangan terlalu dipikirkan, apapun yang pernah terjadi dulu sudah aku lupakan” senyum mengembang di bibirnya, tanpa sadar wajah Burhan memerah. Pesona ini juga yang berhasil memikat teman temannya dulu, pesona wanita belanda ini membuat dadanya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Beberapa bulan semenjak pertemuannya dengan Maria, Burhan bisa dengan tepat waktu menyelesaikan penelitiannya. Meski nilai yang didapatkannya biasa saja ia merasa cukup puas dengan bisa lulus tepat waktu dan menjadi sarjana.

Hari wisuda pun tiba, dengan didampingi oleh orangtaunya Burhan datang untuk peresmiannya sebagai seorang sarjana, acara yang meriah dan ditunggu Burhan pun berlangsung cepat, merasa ingin berterimakasih orangtuanya ingin bertemu dengan dosen yang sudah membimbing putra mereka tersebut, meski awalnya menolak namun ayahnya terus memaksa hingga akhirnya Burhan menyerah dan membawa kedua orangtuanya menemui dosen pembimbing Burhan, Maria.

“Pertemuan itu berlangsung tidak lebih dari tiga puluh menit, tapi saat kami akan pulang, ayahku tampak berbincang serius dengan Maria, aku tidak mengetahui apa yang mereka bicarakan”

“Serius?” ini adalah tegukan kopiku yang terakhir, mendengar semua cerita ini membuatku benar-benar tidak sadar dan hanyut di dalam cerita pak Burhan.

“Iya, saat pulang ke rumah aku dan ibuku asik berbincang, tapi wajah ayah yang tampak seperti memikirkan sesuatu tidak pernah berubah semenjak pembicaraannya dengan maria sebelumnya, aku benar benar penasaran tapi tidak berani menanyakan apapun, aku hanya tidak ingin mengacaukan suasana saat itu”

Satu tahun tiga bulan berlalu semenjak kelulusannya, setelah diterima di akademi militer, Burhan harus mengikuti pelatihan yang mereka laksanakan gunanya agar para militer siap untuk diterjunkan ke lapangan, ketika beberapa minggu lagi akan menyelesaikan masa latihannya, sebuah kabar datang dan membuatnya terpaksa pulang.

Kabar tentang ayahnya yang terkena serangan jantung dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit terus menbayanginya selama di perjalanan, meski tak terlalu akrab dengan ayahnya, Burhan begitu takut dan belum siap jika harus ditinggal sang ayah, terlebih saat ini hanya dia anak orangtuanya yang belum menikah setelah beberapa bulan yang lalu kakak perempuannya menikah dan pindah mengikuti suami ke luar negeri.

“Syukurlah kau sudah sampai anakku, ayahmu masih di ruang operasi, doktek belum keluar, kenapa mereka lama sekali Burhan?”

“Tenanglah bu, Burhan yakin ayah baik-baik saja” sebuah pelukan hangat ia berikan untuk menenangkan hati perempuan paruh baya itu, kerutan-kerutan makin terlihat jelas di wajahnya saat ini, ia bisa menebak bahwa ibunya sudah tidak tidur sejak ayahnya dilarikan ke rumah sakit.

“Burhan, kau sudah sampai?” suara perempuan muda yang datang dari belakang ibunya mengejutkannya, wanita yang sudah satu tahun ini tidak ia temui, wanita yang masih membuat jantungnya berdetag itu kini berdiri lagi di hadapannya, masih dengan sebuah senyum yang hangat.

“Ayahmu menyuruh ibu menelepon Maria sesaat sebelum ia pingsan, Maria yang membawanya ke rumah sakit dan membantu ibu menjaga ayahmu, kakak iparmu sedang hamil besar saat ini, sedang kakakmu sudah sangat jauh dengan kita, kau juga sedang dalam pelatihan, ayah tidak ingin merepotkanmu, makanya ibu menelepon Maria dan meminta pertolongannya”

Burhan menundukkan wajahnya, dilihatnya tubuh ibunya yang masih ia peluk erat, di dalam kepalanya bermunculan banyak sekali pertanyaan, tentang siapa Maria sebenarnya, apa yang dibicarakan oleh ayahnya dan Maria saat itu, dan kenapa Maria tampak sangat dekat dengan keluarganya tanpa ia ketahui.

“Maukah ibu bercerita kepada Burhan apa yang sebenarnya terjadi?”

Matanya dan mata ibunya bertemu, tangan hangat sang ibu bergerak memegang pipinya yang mulai ditumbuhi janggut, lalu sebuah anggukan dan senyuman diberikan oleh wanita itu.

“Dulu ayahku pernah menolong sebuah keluarga dari kecelakaan lalu lintas, peristiwa itu merenggut nyawa sepasang suami istri keturunan belanda, namun seorang bayi perempuan berhasil selamat, bayi perempuan itulah yang sudah menolong dan menjaga ayahku saat beliau di rumah sakit”

Meski tidak terlihat aku tahu saat ini kedua mata hitamku membesar, peribahasa dunia ini memang kecil aku rasa sangat cocok untuk kisah ini, sebuah takdir yang tercipta memang tidak akan pernah berubah meski sudah bertahun-tahun lamanya.

“Ketika bertemu lagi setelah belasan tahun, ayahku tidak sadar bahwa bayi yang berhasil ia selamatkan itu adalah guru yang sudah kuganggu dan juga dosen yang membimbingku, wajahnya begitu serius setelah pembicaraan saat upacara wisuda karena beliau kembali ingat akan peristiwa mengerikan itu dan menyesal tidak bisa menyelamatkan orangtua Maria”

“Berarti saat Maria memaafkan bapak di sekolah dan mau membimbing bapak untuk menyelesaikan penelitian karena itu?”

“Aku rasa iya, semua yang sudah Maria lakukan, senyum yang selama ini dia beri untukku hanya karena rasa terimakasih, aku merasa dipermainkan olehnya, aku kira selama ini dia ada di sampingku karena memang menaruh hati padaku”

Cerpen Karangan: Sity Hanizar
Facebook: Alyssa Fajria
Copyright © Cerpen Menarik dan Populer. All rights reserved. Template by Amanbet