Cerpen Sekolah Ke 13

Cerpen Sekolah Ke 13


Cerpen Sekolah Ke 13 - Ku tak mengerti apa arti hidup. Disaat aku sudah merasa patut untuk disayangi orang lain, hal itu bagaikan kesalahan. Semua orang selalu meengungkit hal yang sudah berlalu. Bagi mereka, tak ada bedanya dulu dan sekarang. Apakah mereka tak mengenal kata PERUBAHAN? Apakah mereka kekurangan kamus untuk itu? Ah, aku tak mengerti. Seperti tak ada kata teman dalam hidupku. Semuanya sama. Menjauhiku. Memusuhiku. Mencacimakiku tanpa ampun. Hanya sebab satu hal: masa lalu yang kelam.

Kelam? Tak begitu kelam saat aku melakukannya. Tapi, saat aku mengenangnya itulah yang disebut kelam. Disaat semua preman hitam menarikku ke bawah jembatan. Berjalan menuju bawah tanah. Amat sunyi. Dan lampu pertama dinyalakan. Kami berpesta ria. Menghisap. Menyuntik. Meminum. Awalnya ku tak faham. Namun, kukembangkan senyumku dan mengerti apa artinya KESENANGAN dan KEBEBASAN. Lampu warna-warni terus berkedip-kedip. Musik keras terus menggema. Hingga kegiatan ini terus berlanjut hampir 1 bulan. Kegiatan di bawah tanah usai sekolah bersama preman-preman berusia jauh di atasku. Ibu mengetahuinya. Beliau melarangku kesana lagi. Juga mengonsumsi apa itu nark*ba, minuman keras, rok*k, dan semacamnya. Katanya, lelaki kecil sepertiku sangat tidak pantas melakukan semua hal haram tersebut. Tapi, tanpa kulakukannya tubuhku terasa nyeri.

Pada akhirnya, wanita itu menyeretku menuju tempat yang sangat kubenci hingga saat ini. Yaitu rumah sakit jiwa atau lebih tepatnya, Panti Rehab. Dimana semua orang bernasib sama sepertiku. Merasakan kesakitan dan kenyerian ini. Tak ada lagi alat penghisap, pil-pil kesenangan, minuman penenang. Kuhabiskan 3 bulan saja disini. Lalu, kumasuki sekolah di kota yang jauh dari tanah lahirku. Guna menjauhi pelopor dari perusak secuil hidupku. Berharap bisa melupakan semua hal di bawah tanah dengan lampu warna-warni yang berkedip atau musik menggema di seluruh penjuru ruangan. Kini aku berada di kota damai tanpa ada yang mengetahui aibku pada usia 11 tahun.

Masa senang di sekolah memang tak selalu bertahan lama. Di sekolah pun, tak ada yang sukses memendam aib atau rahasia. Secerdik apapun pasti akan banyak yang mengetahuinya. Pada masa SMP, sudah belasan sekolah di Jawa Timur kutapaki. Sedikit saja aibku menyebar, banyak yang membullyku. Tak tahan dengan itu semua, aku segera migrasi ke sekolah lain. Nomaden. Mungkin itu sebutannya.

Buk! Tendangan itu. Ku tak kuasa menahannya. Sekolah ke-13ku jajaki. Baru 2 minggu berkenalan dengan warga sekolah, aibku tersebar. Mereka memberiku julukan Pecandu, Raja G*nja, Wisk*y Bangs*t. “AKU SUDAH BUKAN PECANDU!!!” teriakku sejadi-jadinya disela mereka menendangku. “Sekali pecandu tetap pecandu!” “Dasar Raja G*nja!” argh! Sakit sekali. Apakah mereka mencoba membunuhku? Guru-guru yang mengerti ini pun mengabaikanku. Hanya karena mereka tau bahwa yang dibully ini merupakan seorang pecandu. Bukan murid baik-baik.
Pulang sekolah, jika aku berkata pada ibu pasti beliau marah. Bayangkan! Ini sekolah ke-13. Aku sudah berkali-kali pindah sekolah bahkan kota. Bertahan? Sangat menutup kemungkinan.

Ah! Kursi itu menghantam tubuhku yang terdampar di lantai. Satu per satu anak meninggalkanku dengan tendangan-tendangan mereka yang mungkin membekas. Kukumpulkan seluruh tenaga untuk menyingkirkan kursi yang meniduriku. Perlahan aku berusaha berdiri. Yup! Tubuhku telah tegak. Berjalan tertatih ke luar kelas. Meratapi nasib di kursi koridor depan kelas. Perih. Pelipisku berdarah. Berdenyut. Banyak memar di tangan dan kakiku. Bersandar dan mengatur nafas lebih dulu kulakukan. Setelahnya adalah berpikir. Apa yang kulakukan saat ini? Hanya bersandar dan membiarkan pelipis.
Aw, tanganku menyeka ujung bibir. Berdarah juga. Darah ini mengucur perlahan. Apakah arti hidup ini? Tak ada orang yang mengerti. Dunia ini tak adil. Kalau begitu, untuk apa kita hidup? Apakah di dunia yang harus kita lakukan adalah menggantung tali dan lompat dengan memasukkan kepala dalam lubang tersebut? Atau menggoreskan kaca di lengan? Atau loncat di gedung tertinggi sekalipun? Pengecut sepertiku boleh melakukannya kan? Kenapa tidak?

“Kevin.” Suara perempuan. Sapaan persahabatan. Dia duduk di dekatku. Melepas sleyer hitam yang menguntai telapak dan punggung tangannya. Membersihkan darah yang mengalir dari pelipis dan ujung bibirku. “Ke… kenapa kamu…” entah mengapa suaraku tercekat tak bisa melanjutkan kata setelahnya. “Kenapa aku tak membenci dan membullymu seperti yang lain?” dia mengatakan terlebih dahulu apa yang ingin kukatakan. Aku hanya mengangguk kecil. “because i’m different and you limited edition in here.” Jawabnya dengan serius. “thanks.” Jawabku agak dingin. Baru pertama ini ada orang yang menggunjingku limited edition.

Gadis ini… kutatap wajahnya lamat-lamat. Lentikan bulu mata di ujung kelopak matanya bagaikan bulan sabit. Melengkung sempurna. Lensa matanya berwarna coklat terang nampak berkilau. Pipi tembamnya merah alami. Semerah senja. “aku percaya kalau kamu sudah bukan pecandu.” dia menarik kembali sleyer tersebut.
“Ya. Itu sudah berlalu 3 tahun silam.”
“Dan jika darahmu dites, memang benar ada virus nark*ba walau kamu sudah direhab dan tak mengonsumsinya lagi.” Terangnya yang aku sendiri sudah mengetahui.
“Virus itu akan hilang sepenuhnya dalam tubuhku 5-10 tahun setelah masa rehab.”
“Memangnya, berapa lama kamu di Panti Rehab?”
“3 bulan. Merupakan waktu yang singkat. Tapi aku sudah sembuh.”
“I’m believe you” gadis itu mengacak-acak rambutku. Sungguh nyaman berbincang dengannya.

Plak! Tamparan yang entah keberapa kali. Baru kemarin berdarah dan kering, sekarang ditampar bertubi-tubi. Diriku dan Rehan dikerumuni banyak anak. Lelaki sebaya denganku itu berulang kali menampar dan bertanya apa yang kemarin kulakukan bersama Shena di tempat duduk koridor depan kelas. Telah kujawab jujur, ia menamparku kembali semakin menggebu-gebu. Terus membentakku. Ia memberiku sebuah ponsel yang di dalamnya sudah terpasang video. Hei! Dimana itu? Siapa itu? Kursi koridor depan kelas. Aku dan Shena ada di dalam layar ponsel. Kejadian kemarin sepulang sekolah terekam. Siapa yang merekamnya?
Tanpa kubertanya, Shena membelah kerumunan. Mendekati Rehan. Mereka berpelukan. Ah, aku hampir lupa bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Sudah dapat kutebak sebelum kata-kata itu keluar dari mulut busuk Shena. “Akulah pemilik video tersebut. Sengaja kulakukan sebelum aku menemuimu. Ponsel itu kuletakkan di rimbunan semak-semak. Dimana ponsel dan semak-semak menyaksikan kemesraan kita berdua.” Sunggingan kesinisan membuat hatiku semakin ingin menyapanya ‘bajingan.’
“Kemarin yang kamu katakan?-” belum sempat aku melanjutkan kata-kata. Rahangku mulai mengeras.
“Mana mungkin aku menganggapmu limited edition dan hanya aku yang tak membencimu? Kemarin adalah rekayasa belaka, Wisk*y Bangs*t!”
“Lenyaplah kau ditelan bumi. Tak pantas lagi berada di hadapanku. Hanya membuat kerusuhan di dunia!” baik, kuterima kata-katanya. Memanglah sudah muak aku dengan semua ini. Aku tak paham roda kehidupan. Apa arti hidup? Mana keadilan hidup? Ingin rasanya aku mengundang malaikat pencabut nyawa. Tolonglah aku! Lepaskan dari kesengsaraan ini! Dimana roda kehidupan yang selalu berputar? Kapan aku berada di atas dan menindas yang di bawah? Mengapa selalu aku yang di bawah dan ditindas?

Dari kecil aku selalu hidup dengan penuh tekanan. Aku frustasi dan memilih seretan preman. Aku mengonsumsi nark*ba dan semacamnya pada usia yang sangat labil. Dari dulu aku tak pernah mendapatkan sekolah yang menyeganiku. Seharam apakah tubuhku? Sekarang semua menindasku. Tak satu pun percaya denganku. Shena yang kukira bebeda ternyata itu busuk!

Berlarilah aku dari seluruh kerumunan. Ke luar gerbang sekolah. Ku sempat melihat ke belakang, semua mengikutiku. Mengejar. Itu ungkapan yang lebih layak. Sampai pada penyeberangan menuju ladang rumput yang luas. Jalan itu sangat ramai, tapi tak kurisaukan. Terobos dengan pejaman mata. Seluruh kendaraan membunyikan klaksonnya keras-keras. Tetap berlari. Biarlah orang-orang itu mengejarku. Dan… suara berdebum disertai teriakan orang-orang di sekitar membuat kepalaku berputar. Tubuhku di atas ladang rumput berputar menghadap jalan raya. Re… Reehaa..n… semua mengerumuninya. Aku pun juga mendekat. Anak-anak yang mengejarku juga ikut mengerumuni. Ada yang berteriak. Mobil yang menabraknya tak patut merasa bersalah. Seharusnya Rehan berhenti dan melihat kondisi jalan. Salah siapa dia meniruku? Sekarang apa? Kepala Rehan dipenuhi darah. Bagian tubuh yang lain tak jauh beda. Dia tak sadarkan diri. Sebentar, mengapa ia tak segera dilarikan ke rumah sakit? Di mana teman-temannya? Oh, sepertinya mereka tak sudi karena kondisi menggenaskan Rehan. Tanpa ba-bi-bu, langsung saja kuangkat tubuh merah Rehan sekuat tenagaku. dan shena segera memanggil mobil sekolah untuk mengantar Rehan ke rumah sakit terdekat. Namun sekarang, kumulai berganti pertanyaan, apa arti pertemanan? Di saat Rehan merasa perlu bantuan, semua temannya tak segan membantu. Hanya aku, Shena, dan sopir mobil yang mengantar Rehan menuju rumah sakit. Di mana semuanya yang biasa membantu Rehan untuk menindasku?

“Kevin, maafkan aku. Kuharap kamu bisa menjadi pengganti Rehan untukku.” Tercekat aku mendengarnya. “Yang kukatakan kemarin benar, you’re limited edition.” Dia memelukku erat dalam tangis. Sekarang menangislah sepenuhnya dalam punggungku. “Kuingin katakan, yang rekayasa adalah tadi pagi bukan kemarin. Dan pemilik ponsel serta video itu adalah teman Rehan, bukan aku. Diriku hanyalah kekasih Rehan yang bersedia untuk diperbudak.”

Kini aku mengerti arti kehidupan yang adil. Hidup adalah sebab-akibat. Diriku menjadi sebab bagi Rehan yang kini telah tiada. Dan Shena adalah sebab bagi hidupku. Apakah hidup ini adil? Ya. Rehan selalu berteman sangat baik dengan semuanya dan bebas menindas orang. Tanpa disadari, teman-teman itu mengkhianatinya. Mereka hanya ingin berteman dengan Rehan pada kemakmuran saja. Tak sudi menolong pada saat ia susah. Itulah balasannya. Shena, ia menjadi kekasih Rehan dan mendapat apa yang diinginkannya. Itu menyenangkan. Dibalik itu semua, Shena juga harus rela diperbudak Rehan beserta gengnya. Adil bukan? Sekarang aku sendiri mendapat pelukan persahabatan dari yang menindasku kemarin kemarin dan kemarin. Atas jasaku yang menyelamatkan Rehan walau pada akhirnya tak tertolong. Aku juga menjadi juara kelas serta pengganti Shena yang lebih baik dari Rehan. Tak ada lagi panggilan Pecandu, Raja G*nja, atau Wisk*y Bangs*t. Inilah sekolah SMP terakhirku. Yaitu sekolah ke-13. Dengan teman-teman yang tulus menyeganiku. Hidupku adalah akibat bagi teman-teman.
Copyright © Cerpen Menarik dan Populer. All rights reserved. Template by Amanbet