Kau Cantik Hari Ini (Part 2)

Kau Cantik Hari Ini (Part 2)

Kau Cantik Hari Ini (Part 2) - Beberapa minggu setelah ayahnya sembuh, sebuah permintaan berat diberikan oleh ayah Burhan kepadanya, yaitu menikahi Maria, menurut ayahnya Maria akan menjadi seorang istri yang sempurna, terlebih karena saat ini Burhan sudah ditempatkan di salah satu markas militer yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah sehingga memungkinkan ia untuk bisa pulang ke rumah pada waktu malam hari, dan saat itu pun maria sudah menjadi seorang dosen di sebuah universitas yang ada di kota tersebut.

Seharusnya permintaan itu menjadi satu hal yang menyenangkan untuk Burhan, terlebih ia akan menikahi seorang perempuan cantik berdarah belanda, pintar dan baik, itu pasti merupakan keinginan setiap laki-laki, tapi rasa takut untuk terlalu mencintai Maria dan takut Maria mau menikahinya hanya untuk berterimakasih pada ayahnya membuat Burhan tidak bisa dengan mudah mengiyakan tawaran tersebut.

Butuh waktu baginya hingga dua mingu untuk memikirkan permintaan ayahnya tersebut, hingga akhirnya sebuah dorongan datang dari sang ibu membuat Burhan luluh dan menyanggupi permintaan tersebut, meski dalam hatinya ia sama sekali belum mengenal baik Maria, dan bagaimana sebenarnya perasaan maria kepadanya, bagaimana dia dan Maria bisa menjalani pernikahan ini jika tidak ada cinta diantara mereka berdua.

“Yah, meski begitu, sebuah pernikahan sederhana tetap berlangsung di rumahku, ayah dan ibuku tampak sangat bahagia, tapi aku tidak bisa membaca raut wajah Maria saat itu, ada bahagia dan senyum tapi terlihat seperti terlalu dipaksakan, tidak natural”

“Lalu bapak dan Maria tinggal di rumah orangtua?”

“Tidak, kami membeli sebuah rumah di dekat universitas tempat Maria bekerja, dan seperti yang aku bayangkan, kami menjadi sangat kaku semenjak pertama kali pindah dan rumah yang besar itu seakan begitu sunyi, terlebih setelah satu tahun lebih menikah kami belum juga tampak akan dianugrehkan seorang anak”

Lima tahun setelah menikah dan belum juga dikaruniai seorang anak, membuat Burhan dan Maria tampak renggang, mereka hanya bertemu di pagi hari saat sarapan dan sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Maria sebagai dosen dan Burhan sebagai anggota militer yang sekarang sedang mengemban tugas sebagai komandan, saat malam hari Burhan pulang ketika Maria sudah terlelap dan bangun lebih dulu untuk melaksanakan shalat subuh, terkadang ia ikut membangunkan Maria dan menjalankan shalat subuh bersama, tapi hal itu tidak juga membuat mereka akrab layaknya sepesang suami istri, pembicaraan mereka hanya sebatas pekerjaan masing-masing dan masih menggunakan bahasa formal untuk berbicara.

Meski di dalam hatinya yang paling dalam Burhan begitu mencintai Maria, namun ia tidak ingin terlalu meluapkan perasaannya, terlebih karena pribadi Maria yang tidak terlalu terbuka dan rasa takut jika Maria menikah dengannya hanya karena rasa terimakasihnya pada ayah Burhan, perasaan cinta, kecewa, dan takut berpadu jadi satu dalam hati dan otak Burhan menghantuinya selama bertahun-tahun.

Hingga suatu hari, Burhan yang sedang menjalankan tugas di luar kota dikejutkan dengan kabar bahwa Maria dilarikan ke rumah sakit karena mendadak tidak sadarkan diri saat sedang mengajar, mendengar hal itu Burhan langsung kembali dengan segera ke rumah sakit.

“Menurut hasil uji laboratorium, istri anda menderita kanker rahim stadium tiga, apakah selama ini istri anda terlihat atau mengeluh sakit di bagian perutnya?”

“Tidak dok, dia tidak pernah mengeluhkan apa-apa, dan karena saya jarang di rumah, saya tidak begitu mengetahui apakah istri saya sering sakit” pria berkacamata dan memakai baju bewarna putih itu mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Burhan.

“Penyakit ini mungkin akan membuat istri anda sulit untuk memiliki momongan, tapi percayalah pak, tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan, teruslah berdoa’a dan dampingi selalu istri anda, saat ini orang yang paling dibutuhkannya adalah anda”

“Baik dok”

Hatinya memaki, matanya perih menahan air mata, rasa takutnya yang berlebihan membuat istrinya harus kesakitan tanpa ia ketahui, berkali-kali ia menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian ini, berkali-kali pula ia merasa tidak bisa menjadi seorang suami yang baik, dia bahkan tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi Maria.

“Maafkan aku Maria” katanya lirih, tangannya bergerak menggenggam jari Maria, matanya semakin perih saat ini, andai ada sesuatu yang bisa ia lakukan sekarang, andai rasa sakit itu bisa dibagi.
“Burhan, sudah pulang?” wajah itu masih bersinar seperti dulu, seperti dua belas tahun yang lalu saat pertama sekali ia melihatnya, kini ia kembali mengingat alasan kenapa ia dulu selalu mengganggu dan membuat marah wanita ini, ia baru ingat bahwa ia ingin agar wanita ini hanya melihatnya, hanya ramah padanya, dan bukannya pada seluruh siswa laki-laki di sekolah, ia ingin agar wanita ini hanya tersenyum padanya, senyum yang hangatnya bagai sinar matahari pagi itu, ia ingin agar wanita ini hanya memberikan senyum padanya, senyum yang indah, seperti saat ini. Kini ia sadar bahwa ada bulir air bening yang mengalir di pipinya.

“Aku baik-baik saja Burhan” tangan hangatnya balas menggenggam tangan kekar itu, Burhan semakin menggenggam erat genggamannya kali ini ia tidak bisa menghentikan air matanya, ia memang lelaki yang lemah.

“setelah itu kami sepakat untuk mengadopsi seorang anak, aku hanya ingin agar Maria bisa tersenyum lagi, dan mengobati rasa bersalahku padanya, kami mulai mencari di beberapa panti asuhan, bertemu dengan banyak anak-anak yang menggemaskan, tapi aku tidak melihat Maria puas akan hal itu”

Akhirnya setelah perjalanan yang cukup melelahkan selama dua hari ke luar kota, mereka menemukan sebuah panti asuhan kecil, setelah bertekat akan menyerah jika mereka tidak bisa menemukan anak yang mereka cari di panti asuhan ini, mereka pun akhirnya mulai melihat-lihat anak yang bisa membuat Maria bisa kembali tersenyum.

Setelah satu jam berkeliling, Burhan baru sadar bahwa ia sudah terpisah dari Maria, kakinya langsung melangkah mencari wanita itu, hingga akhirnya ia mendapati Mari sedang berbicara dengan seorang anak kecil berusia tiga tahun, Maria tampak begitu bahagia dengan pembicaraan itu, sesekali ia bahkan tertawa, membuat Burhan mengembangkan senyumnya.

“Ibu menderita kanker rahim?, maaf tapi bukankah akan lebih merepotkan bila mengurus anak kecil? Terlebih Dinda masih berusia tiga tahun”

“Saya yakin bisa, Dinda sepertinya anak yang baik, saya yakin dia pasti bisa menjadi anak yang patuh dan tidak merepotkan”

“Baiklah bu kalau begitu, ibu bisa urus administrasi dan surat-surat yang dibutuhkan untuk adopsinya, begitu selesai ibu bisa membawa Dinda pulang”

Butuh waktu satu minggu bagi Maria dan Burhan mengurus semua berkas yang mereka butuhkan, setelah semuanya selesai mereka memutuskan untuk segera kembali ke panti asuhan itu.

“Maafkan saya pak, bu, baru kemarin ada sebuah keluarga yang membawa Dinda, berkas yang kami perlukan sudah mereka siapkan semua dan mereka begitu ingin mengadopsi Dinda, kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membiarkan mereka mengadopsinya, sekali lagi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya”

Marah dan kecewa tampak jelas di wajah Maria selama perjalanan kembali dari panti asuhan, hal yang sama juga dirasakan Burhan, ia kembali merasa gagal, saat hanya tinggal menghitung jam untuk sebuah kehidupan baru bagi dia dan Maria namun semuanya hilang dalam sekejap, membuat ia dan Maria kembali sama-sama terdiam tak bicara hingga sampai ke rumah.

“Mau coba liburan?, kita bisa kunjungi tempat yang belum kau datangi, aku akan mengambil cuti, jadi kita bisa pergi untuk beberapa minggu”

Kalimat yang sudah seminggu ia tahan dan tata dengan bagus akhirnya berani ia keluarkan, raut wajah Maria langsung berubah, matanya berkaca-kaca, Burhan baru ingat bahwa mereka belum pernah sekalipun liburan semenjak menikah, bahkan liburan ini mungkin bisa juga disebut bulan madu bagi mereka berdua.

Setelah semua perencanaan selesai, mereka akhirnya pergi untuk berlibur ke tiga tempat yang berbeda, berminggu-minggu mereka lalui dengan tawa dan kebahagian yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan semenjak menikah.

“Aku senang kita akhirnya bisa berlibur bersama”

“Iya, aku minta maaf karena baru kali ini bisa mengajakmu berlibur”

“Tidak apa-apa Burhan, begini saja sudah senang, terimakasih” senyum hangat itu kembali terukir di bibir indah Maria.

“Kami sangat bahagia saat itu, berlibur berdua dan mengunjungi tempat-tempat baru, aku kembali melihat Maria tersenyum, dan aku begitu bahagia akan hal itu”

“Saya ikut senang mendengar bapak bahagia bersama Maria”

“tapi itu tidak berlangsung lebih dari tiga minggu, saat akan pulang dengan pesawat, awalnya Maria ingin tidur sebentar, tapi sampai pesawat kami tiba di bandara Maria belum bangun, aku baru sadar bahwa Maria tidak sadarkan diri dan langsung melarikannya ke rumah sakit, dokter mengatakan bahwa Maria kelelahan selama liburan, tapi aku tidak menyadarinya sama sekali, aku ini bodoh ya?” aku bisa melihat pak Burhan tersenyum, senyum yang di dalamnya tersirat begitu jelas kesedihan dan penyesalan.

Beberapa hari Burhan terus menjaga Maria yang belum sadarkan diri, dokter menyarankannya untuk mengizinkan Maria menjalankan kemoterapi untuk memperlambat penyebaran kanker di tubuhnya, Burhan langsung menyetujuinya baginya yang terpenting saat ini adalah kesembuhan Maria.

Satu hari setelah kembali dari rumah untuk mengganti pakaiannya, ia mendapati kamar rawat Maria dipenuhi oleh banyak perawat, hatinya tiba-tiba tidak tenang, ia langsung melangkah dengan cepat untuk masuk dan mendapati seorang dokter sedang menutup wajah Maria dengan sehelai kain.

“Apa-apaan ini?, kenapa kalian menutupi wajah istriku dengan kain itu, kenapa ada banyak sekali orang di ruangan ini?, pergilah! Biarkan Maria istirahat, dokter menyarankannya untuk banyak beristirahat”

“Pak Burhan, saya mengerti perasaan anda, maafkan kami pak istri anda sudah pergi dengan tenang”
“Apa maksud anda dok? Kita bahkan belum melakukan terapi, istri saya tidak mungkin meninggal, dia sehat-sehat saja, saya hanya meninggalkannya satu jam untuk mengganti pakaian, dia tidak mungkin meninggalkan saya dok, tidak mungkin!”

“Maafkan saya pak, tapi inilah kenyataannya, kami sudah berusaha yang terbaik tapi Tuhan punya rencana lain”

Kaki Burhan terasa lemah untuh berdiri, ia hanya bisa terduduk dan memandangi tubuh kaku Maria, berulang kali ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau Maria masih hidup, ia lalu bangkit dan meraih tubuh Maria, mencoba mengguncangnya untuk membuat Maria bangun, tapi para perawat di ruangan itu langsung memegang kuat tangannya, ia semakin meronta, tapi para perawat itu malah membawanya menjauh dari tubuh Maria.

“Lepaskan aku, aku ingin membangunkan Maria, dia sedang tidur saat ini cepat bangunakan dia, 
katakan padanya kalau dia akan melakukan terapi dua hari lagi agar bisa sembuh, katakan itu padanya”

“Maafkan kami pak, tapi bapak harus sabar, ibu Maria sudah pergi meninggalkan kita”
Ia mulai berhenti meronta, kini hanya isak tangisan yang terdengar dari mulutnya, saat para perawat menyuruhnya untuk duduk di kursi tunggu, ia hanya bisa terisak sambil menutup mukanya dengan kedua tangannya, hatinya sakit, ia merasa bagai laki-laki paling bodoh yang pernah hidup.

“Jangan pergi Maria, aku bahkan belum pernah mengatakan bahwa aku begitu mencintaimu, aku mohon kembali Maria, kembalilah” tangisnya makin keras, para perawat yang melihat kejadian itu bahkan ikut meneteskan air mata. Sementara Burhan masih terus terisak hingga ia merasa lelah dan tertidur di kursi tunggu rumah sakit.

Setelah pemakaman Maria, Burhan menemukan sebuah buku diary milik Maria di kamar mereka, isi diary itu bercerita tentang kekaguman Maria pada sosok Burhan, laki-laki yang tampak tidak begitu peduli dengan keadaan sekitar tapi begitu menarik di matanya, Maria begitu menngagumi Burhan saat pergi dipagi hari menggunakan seragam militernya, laki-laki yang tampak gagah dan kuat tapi menangis saat Maria terbaring di rumah sakit.

Laki-laki yang dulu sempat ia kira hanya remaja nakal yang selalu mengganggu dan membuatnya marah itu begitu menarik perhatiannya saat mereka menghabiskan waktu bersama-sama untuk bimbingan penelitian, laki-laki itu juga yang bersedia pulang pergi dan kelelahan masuk keluar panti asuhan untuk menyenangkan hatinya, laki-laki yang genggaman tangannya begitu hangat, meski mengakui bahwa butuh beberapa bulan untuk mencintai laki-laki itu tapi ia benar-benar jatuh hati pada Burhan saat laki-laki itu memeluk dan menenangkan ibunya yang begitu terpukul dengan sakit yang ayahnya derita, laki-laki yang tampak sangat kuat dari luar tapi begitu lembut dari dalam itu berhasil mencuri hatinya.

“Maria…” tangis Burhan kembali pecah, ia memeluk erat buku itu dengan perasaan bersalah yang sangat besar, ia baru tahu bahwa Maria begitu mencintainya tapi perasaan takut yang tidak berasalan yang ia miliki membuat matanya tertutup untuk melihat cinta yang dipancarkan Maria, hatinya begitu menyesal baru mengetahui semua ini setelah maria pergi dan meninggalkannya sendiri.

“ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa sesuatu itu akan tampak sangat beharga ketika ia sudah tidak kita milikinya lagi”

Aku meneguk tegukan terakhir gelas kopiku yang kedua, sebuah tegukan yang besar untuk menyadarkanku, sikap pak Burhan kepada Maria hampir sama dengan sikapku kepada Dina, bedanya aku tahu kalau Dina mencintaiku tapi tak begitu peduli akan hal itu, bagaimana jadinya aku jika seandainya Dina juga meninggalkanku seperti Maria meninggalkan pak Burhan?.

“Maria meninggal pada hari rabu, karena itu setiap rabu aku selalu kemari untuk mengunjungi makamnya, ingatlah Dani, bahagiakan selalu istrimu selagi kau masih punya waktu, jangan pernah lupa untuk sekedar mengucapkan aku mencintaimu atau kau begitu cantik hari ini selagi dia masih bisa mendengarmu mengatakan itu, apakah kalian sudah punya bayi?”

“Belum pak, kami masih sama-sama sibuk jadi menunda memiliki bayi” aku melihat pak Burhan mengibas-ngibaskan tangannya di udara sambil menggeleng.

“Sudah dua tahun menikah jangan tunda lagi untuk memiliki momongan, suara tangisan bayi akan semakin memperlengkap suasana di rumahmu”

“Baik pak saya mengerti” pak Burhan bangkit dari kursinya dan mengambil sesuatu dari saku coat cokelat tua panjang yang ia gunakan.

“Ini kartu namaku, hubungi aku jika kau sudah punya bayi, nanti aku akan datang dengan membawa hadiah yang bagus”

Pak Burhan lalu pamit ke luar dari cafe untuk memeriksa kereta api yang akan dipakainya, ia melambaikan tangan kepadaku dan langsung berjalan menjauh hingga tak terlihat lagi, kisah hidupnya kini menyadarkanku, aku lalu ingat akan pesan singkat yang Dina kirim tiga puluh menit yang lalu mengatakan bahwa kereta sudah berangkat menuju Jakarta.

“Halo mas, aku baru saja mau telepon, lima menit lagi sampai di stasiun, mas sedang dimana?”

“Mas sudah di stasiun, kamu naik gerbang berapa?, biar mas tunggu”

“Gerbang tiga mas, tidak perlu, nanti Dina telepon saja saat sudah sampai di stasiun”

“Mana mungkin mas mau membiarkan istri mas yang cantik ini menunggu, baiklah, mas sudah di 
depan ini”

“Ya ampun mas ini ada-ada saja, ini sudah mulai masuk stasiun mas”

Lima belas menit kemudian aku dan Dina sudah berada di dalam mobil menuju kerestoran tempat kami akan malam malam, selama perjalanan aku masih terus terbayang akan cerita dari pak Burhan tadi.

“Kami cantik hari ini Dina”

“Kamu kenapa sih mah?, dari tadi aneh, apa terjadi sesuatu?” aku tertawa, memang aneh bagi Dina karena aku memang begitu jarang mengatakan hal-hal manis kepadanya.
“Tidak terjadi apa-apa, hanya bertemu dengan pak Burhan tadi di stasiun”

“Pak Burhan dosen pembimbing skripsi mas itu?, Dina dengar beliau pindah ke Bandung, ke Jakarta untuk apa?”

“Ada keperluan katanya” ujarku yang tidak ingin bercerita lebih jauh tentang pembicaraan kami tadi.

“Oh begitu, Dina sudah lupa dengan wajahnya”

“Sudah enam tahun Dina, wajar kalau kamu lupa wajahnya, tadi pak Burhan memberiku kartu 
namanya, katanya kita harus menghubungi beliau kalau sudah punya bayi nanti”

“Ya ampun pak Burhan itu”

“Jadi bagaimana dina?”

“Eh?, apanya mas?”

“Kapan kita mau punya bayi sayang?”

“Ya Allah mas kamu ini” tangan Dina bergerak mencubit lenganku, kami lalu tertawa bersama, aku ingin seperti saat ini mulai sekarang, memberikan kebahagian pada Dina yang mungkin dulu belum pernah kulakukan, aku berterima kasih pada Tuhan yang sudah mempertemukanku dengan pak Burhan hari ini, dari beliau aku belajar banyak hal.

Tentang bagaimana rasanya mencintai dan dicintai, caraku selama ini mungkin belum benar dalam mencintai Dina, tapi mulai detik ini aku akan belajar dan memperbaiki segalanya, agar setidaknya aku bisa membahagiakan dia sampai nanti akan ada bayi sebagai pelengkap kebahagiaan kami.

Dia baru saja tiba di sebuah rumah sederhana, rumah yang dulu ditinggali oleh orangtuanya, setelah membuka pintu rumah dan menguncinya kembali, ia melangkah ke depan sebuah foto besar dengan bingkai cokelat terpasang rapi di dinding ruang utama rumahnya, foto dengan latar pantai itu memperlihatkan dua orang dengan senyum kebahagiaan di wajah keduanya, ia baru bisa mencetak foto itu setelah sembuh dari sakit dua hari setelah Maria meninggal, setidaknya ini adalah salah satu bukti bahwa setidaknya Maria pernah bahagia bersamanya.

“Aku pulang Maria” senyum kebahagiaan yang juga menampakkan kerinduran mendalam terukir di wajah tuanya itu, ia berfikir mungkin sebentar lagi Maria akan menjemputnya dan mereka akan kembali bisa berdua dan bahagia.

Cerpen Karangan: Sity Hanizar
Facebook: Alyssa Fajria

Copyright © Cerpen Menarik dan Populer. All rights reserved. Template by Amanbet