HARAPAN ITU MASIH ADA

HARAPAN ITU MASIH ADA

Karya Murni Oktarina

Cerpen Perjuangan -  “Ibu, Nayla ingin berjualan pempek di tempat lain saja. Supaya kita mendapatkan uang lebih banyak,” kataku membujuk ibuku yang sedang menuangkan air ke dalam baskom berisi ikan yang telah digiling halus.

“Nayla di rumah saja! Masak, membereskan rumah, mencuci. Biarkan Ibu saja yang mencari uang.” Balasnya lembut sembari menatap wajahku. Ibu tersenyum dan mulai meratakan ikan dengan air lalu memasukkan sagu sedikit demi sedikit ke dalam baskom.

Aku tersenyum dan beranjak untuk mendidihkan air guna merebus pempek yang dibuat oleh mak. “Nayla ingin menjual pempek di Unsri, Bu. Kata Laysa, di kampus Unsri belum banyak yang menjual pempek.” kataku lagi sembari kembali duduk di hadapan ibuku yang terlihat sibuk membentuk adonan pempek.

“Apa Nayla tidak malu dilihat teman-teman kalau Nayla berjualan pempek di Unsri?” tanya Ibu serius padaku.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Ibu pun ikut tersenyum. Wajahnya tampak letih dan sudah ada kerut-kerut yang seharusnya belum muncul di usianya yang masih 40 tahun. Mungkin beban hidup yang berat membuat Ibu terlihat lebih tua dari usianya. Sejak Bapak meninggal dua tahun yang lalu, Ibu sendirian bersusah payah mencari uang untuk membiayai hidup kami. Awalnya Ibu berjualan sayur di Pasar 16 Ilir, namun sejak satu bulan yang lalu Ibu memutuskan untuk berjualan pempek saja di area Benteng Kuto Besak (BKB) karena tak sanggup lagi membayar uang sewa tempat.

Kehidupan kami sangatlah sederhana, namun aku masih bersyukur karena sempat menuntaskan pendidikanku di bangku SMA. Sebenarnya aku sangat ingin menyambung pendidikanku di bangku kuliah. Sejak kelas dua SMA, Universitas Sriwijaya (Unsri) Inderalaya adalah kampus impianku. Setelah Bapak meninggalkan kami saat kenaikanku di kelas dua, impian untuk kuliah hanya menjadi kenangan semata. Walau kata guru di SMA-ku, aku pasti bisa menembus satu kursi di Unsri dan ada beasiswa bagi yang berprestasi, aku tetap saja meninggalkan impian itu karena memikirkan ongkos ke kampus dan keperluan lainnya. Aku tak ingin menambah beban Ibu.

Dua jam kemudian, ibuku sudah siap dengan bakul pempeknya dan perlengkapan lain. Ia terlihat letih tapi wajahnya menggambarkan kekokohan dan semangat yang tak pernah padam.

“Nayla, Ibu pergi berjualan dulu. Doakan hari ini pempek kita laku banyak ya!” pinta Ibu sambil menyunggingkan senyum.

“Hati-hati di jalan, Bu! Nayla pasti mendoakan,” kataku ceria seraya mencium tangan Ibuku tersayang.

“Assalamualaikum,” pamit Ibu. Lalu langkah kakinya keluar meninggalkan rumah kami yang sederhana.

“Waalaikumsalam,” balasku yang kemudian mengunci pintu lalu mulai membereskan rumah dan masak dengan bahan seadanya.

Sudah pukul 10.00, pekerjaan rumah sudah rampung. Segera kuambil air wudhu untuk menunaikan shalat Dhuha. Ah, seharusnya tadi aku shalat saja dulu baru kemudian menyelesaikan pekerjaanku, biar tidak sesiang ini baru menunaikan Dhuha. “Maafkan kekhilafanku, ya Allah.” kataku dalam hati memohon ampun.

***

Kulirik jam usang yang menempel di  dinding kayu rumahku. Sudah pukul 14.00 dan biasanya setengah jam lagi Ibu akan pulang. Aku menyiapkan makan siang untuknya. Kasihan sekali dengan ibuku, setiap hari makan siangnya di atas jam dua apalagi dia harus berjalan kaki melintasi Jembatan Ampera untuk sampai ke BKB, tempatnya berjualan. Sambil menunggu Ibu pulang, kunyalakan televisi, satu-satunya barang berharga di rumah kami.

Dari arah jendela, kulihat Laysa yang baru pulang kuliah. Segera kuberanjak dari dudukku dan mengenakan jilbab, kemudian keluar rumah untuk menyapa sahabat sekaligus tetangga terbaikku itu.

“Laysa…!” panggilku cukup kuat karena Laysa sudah lewat dari rumahku.

Laysa menoleh ke belakang dan tersenyum melihatku. Ia membalikkan langkahnya menghampiriku. “Kenapa, Nay? Kangen sama aku ya? Haha…!” kata Laysa bercanda lalu ia tertawa.

“Hahaha, tidak tuh! Setiap hari bertemu sama kamu kok. Kenapa harus kangen,” jawabku yang ikut tertawa. Aku mengajak Laysa untuk mampir ke rumah sebentar.

“Enak sekali jika setiap hari mendapat pempek gratis nih!” ujar Laysa sambil mengunyah pempek dengan semangat.

Aku hanya tertawa. “Jadi bagaimana, Sa? Kira-kira bisa tidak aku berjualan pempek di tempat kuliah kamu?” tanyaku serius sambil memandangi Laysa yang kepedasan oleh cuka pempek.

“Ssshhh…. Tenang saja! Itu aku yang urus semua,” Laysa menjawab pertanyaanku lalu tergesa-gesa meneguk air di dalam gelas hingga tak tersisa.

“Ah, Laysa. Aku sangat berterima kasih! Kamu memang sahabatku yang paling baik.” kataku bahagia.

“Sama-sama, Nayla. Biasa saja, ah!13” ujar Laysa sambil mengerlingkan mata indahnya.

Beberapa menit berlalu dan Laysa minta izin untuk pulang. Baru saja kami keluar, ibuku sudah pulang dan tersenyum pada kami. Aku mencium tangan Ibu kemudian disusul oleh Laysa yang juga mencium tangan Ibu.

“Laysa pulang dulu, Bu!” pamit Laysa pada Ibu. Ibu mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah.

“Besok langsung saja bawa pempeknya. Bareng aku ke Unsri, jam 07.00 tepat, jangan telat!” pesan Laysa padaku. Aku mengangguk lalu melambaikan tangan pada Laysa yang berlalu pulang.

Aku masuk ke dalam menemui Ibu yang sedang makan. Wajahnya terlihat  dirundung kesedihan. Namun saat ia melihatku, wajah itu dipasang seriang mungkin dan mengembangkan senyuman. Aku membalas senyum Ibu dan masuk ke kamar, merapikan jilbabku. Sekalian mempersiapkan diri ke rumah Mang Teguh. Setiap pukul 15.00, aku dan Ibu bekerja mengupas bawang di rumah Mang Teguh untuk menambah penghasilan kami.

Aku terpaku di sisi jendela kamarku, memperhatikan keramaian daerah sekitar. Rumahku berada di Seberang Ulu, tepatnya di daerah 10 Ulu. Cukup dekat dengan Jembatan Ampera dan Sungai Musi, kebanggaan kotaku, Kota Palembang. Airmata jatuh perlahan membasahi pipiku. Ketika aku dilahirkan hingga berusia 18 tahun sekarang, kami sudah berkali-kali pindah rumah kontrakan. Hidup pas-pas’an dan aku sama sekali belum pernah merasakan masa remaja seperti remaja seusiaku lainnya yang bisa jalan-jalan, pergi nonton di bioskop, atau apapun itu. Bukan aku tidak bahagia dan tidak bersyukur atas nikmat hidupku, tapi aku hanya mengingat perbedaanku dengan mereka. Mereka yang hidupnya lebih beruntung dariku.

***

Ada rasa bahagia terselip di hatiku, menyaksikan kehijauan kampus Unsri Inderalaya. Angin sejuk berembus dan memainkan ujung jilbab putihku. Gedung-gedung kokoh yang indah dan nyaman, bus-bus mahasiswa yang terparkir rapi di terminal kampus, mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing dan semuanya, semuanya menarik perhatianku. Inilah kampus impianku. Lebih tepatnya impianku dahulu. Sekarang? Tidak. Ah, sepertinya masih. Hanya saja aku berusaha untuk melupakannya.

Ternyata Laysa menyuruhku berjualan di area Fakultas Ekonomi, fakultas tempatnya kuliah. Laysa beruntung sekali memiliki kesempatan belajar di sini. Aku teringat saat kami berdua tertawa bahagia sehabis membaca koran di halaman Masjid Agung. Namaku dan Laysa tertera di pengumuman, kami sama-sama lulus di jurusan Akuntansi. Ya, aku memang sempat ikut tes SNMPTN (Seleksi Nasonal Masuk Perguruan Tinggi Negeri) untuk menyenangkan hatiku. Tapi semua mesti dilupakan karena kulihat wajah Ibu bersedih saat kukabarkan kelulusanku tersebut.

“Nayla, kamu jualan di sini? Jualan apa?” tanya Daira, teman satu SMA-ku. Ia membuka penutup bakul yang berisi pempek. Keningnya tiba-tiba berkerut, lalu menatapku tajam, tatapan merendahkan.

“Oh, pempek buatan ibu kamu pastinya, bukan?” tebak laki-laki tampan dan kaya itu dengan benar.

Aku hanya mengangguk dan berusaha untuk tersenyum. “Mau, Daira?” tanyaku basa-basi, aku tahu ia tak akan membelinya.

“Tidak, ah! Aku takut tidak steril. Oh, ya, jangan berjualan di sini! Nanti kampus kita jadi bau ikan busuk dari pempek itu,” hina Daira memandang sinis padaku dan menunjuk ke arah tumpukan pempek, jualananku.

“Sirik aja jadi orang! Tidak ada yang melarang Nayla jualan di sini, aku sudah minta izin pihak fakultas kita, kok!” tiba-tiba Laysa datang membelaku. Aku menarik napas lega karena Daira langsung pergi begitu saja.

Laysa menepuk bahuku, menenangkanku. Dia tersenyum dan duduk menemaniku berjualan.

Tepat pukul 15.00, aku sudah sampai di rumah. Kulihat ibuku sedang tertidur pulas di lantai menghadap televisi yang masih menyala. Aku mengecup kening ibuku tersayang lalu masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian. Hari pertama berjualan di Unsri sudah cukup lumayan. Aku sangat bersyukur atas rezeki yang diberikan Allah kepada kami, walau sempat kesal di kampus tadi karena Daira sangat menghinaku. Sejak SMA, ia memang tak menyukaiku. Ada-ada saja hal yang diperbuatnya untuk menghinaku habis-habisan. Namun, Laysa selalu membelaku. Daira akan segera diam jika ada Laysa, karena laki-laki sombong itu menyukai Laysa.

Kulihat Ibu sudah bangun dari tidurnya. Ia tersenyum melihatku dan bertanya, “Bagaimana, Sayang? Laku pempeknya di Unsri?”

“Alhamdulillah, Bu. Pempek kita masih bersisa sedikit,” jawabku sumringah sambil menyerahkan lembaran uang padanya.

Ibu tersenyum bahagia menerima uang dariku. “Ayo kita berangkat sekarang saja ke rumah Mang Teguh!” ajak  ibuku sambil membenarkan letak kerudungnya.

***

Sudah dua minggu ini Ibu sakit. Sering terdengar ia batuk-batuk walau berusaha untuk dinahannya agar tak terdengar olehku. Tubuhnya pun semakin kurus dari hari ke hari. Sudah sering aku menyuruh Ibu untuk ke puskesmas dan istirahat dulu dari berjualan pempek., namun Ibu selalu menolaknya dengan alasan hanya demam biasa yang sebentar lagi akan sembuh. Aku sangat mengkhawatirkan ibuku dan takut terjadi apa-apa karena dua minggu ini belum sembuh-sembuh juga.

Dan hari ini, Ibu sama sekali tak bisa duduk apalagi berdiri. Ia hanya tergolek di atas kasur tipis. Aku menjaganya dan memutuskan untuk tidak berjualan dan mengupas bawang dulu hari ini. Setelah menyuapi ibuku makan, aku memberikan obat yang kubeli di warung pada Ibu. Ibu meneguk obat itu perlahan dan memejamkan mata sesaat seperti menahan sakit.

“Nayla, anak Ibu yang Ibu sayangi! Bisa bukan membuat pempek sendiri besok-besoknya? Uhuuuk…. Tetaplah berjualan pempek kalau belum mendapatkan pekerjaan. Ibu selalu mendoakan Nayla agar bisa menjadi orang sukses, bisa kuliah seperti cita-cita Nayla dulu. Mungkin Ibu tidak bisa lama-lama bersama Nayla. Jika nanti Ibu telah tiada, Nayla tinggal saja bersama Tante Sari yang di Kertapati itu. Dia pasti bersedia mengajak Nayla tinggal di rumahnya,” kata Ibu dengan lirih sambil terbatuk-batuk.

Hatiku berdesir dan cemas mendengar perkataan ibuku. Aku merasakan ada hal buruk yang akan terjadi. Ingin rasanya aku menangis namun tetap kutahan agar mak tidak melihatku bersedih. “Ibu pasti sembuh. Ibu bisa lama-lama bersama Nayla kok,” ujarku berusaha riang. Aku ingin tersenyum pada Ibu, tapi malah airmata yang bercucuran. Ibuku merentangkan tangannya dan kami berpelukan.

“Ya, Allah. Semoga ini bukan hal buruk tentang ibuku. Aku memohon padamu, sembuhkanlaH ibuku. Aku sangat menyayanginya. Hanya dia yang kumiliki sekarang, ya Allah. Berikanlah yang terbaik buat dia, aamiin…,” doaku setelah selesai menunaikan shalat ashar.

Aku melepas mukena dan masuk ke dalam kamar untuk melihat ibuku Walau sakit, biasanya Ibu tetap ingin menjalankan shalat dalam posisi berbaringnya, jadi kubawakan air bersih dan mukena untuknya.

“Ibu, Nayla sudah shalat ashar. Ibu juga mau shalat, kan?” tanyaku lembut pada Ibuku yang hanya terdiam kaku dan matanya telah terpejam dalam damai.

***

Satu tahun kemudian.

Aku berdiri di pinggiran Sungai Musi yang berada tepat di depan BKB. Kupandangi aliran air yang cukup deras dan ombak yang bermain naik turun karena baru saja dilewati ketek-ketek (perahu bermesin khas Palembang). Sesekali aku mengamati  ibu-ibu yang menjual makanan dan minuman yang duduk di bebatuan menunggu pembeli. Pikiranku melayang mengenang ibuku yang sudah satu tahun meninggalkanku, menghadap Sang Ilahi. Aku mengikhlaskannya karena tak ada gunanya bila disesali. Semua adalah takdir yang telah ditentukan Allah. Aku pun yakin, jika sekarang Ibu telah bertemu Bapak dan berbahagia di surga-Nya.

“Nayla, kita pulang yuk! Besok ada ujian di kampus, kan? Pulang ini kamu langsung belajar saja, Sayang.” ujar Tante Sari sambil merangkul bahuku. Kini ia menggantikan ibuku untuk menjagaku. Tante Sari dan suaminya sudah menganggapku sebagai anak mereka dan membiayai hidupku, termasuk kuliahku di Unsri.

Aku mengangguk lemah sambil menghapus bulir bening yang keluar dari pelupuk mataku. “Ibu…. Nayla berjanji, nanti Nayla akan menjadi orang sukses supaya Ibu dan Bapak bisa bangga punya anak seperti Nayla. Semoga Ibu dan Bapak bahagia di sana. Suatu saat nanti, kito bertiga pasti bisa berkumpul lagi. Oh iya, sekarang Nayla sudah bisa kuliah di Unsri sambil berjualan pempek, Bu. Nayla kangen sama Ibu juga sama Bapak!” teriakku cukup keras ke arah Sungai Musi di hadapanku. Riaknya kini kembali tenang setelah ketek-ketek sudah menjauh. Setenang hatiku sekarang.

Tante Sari menuntunku sambil menghapus airmataku. Kami menuju ke area parkir. Om Usman, suami Tante Sari sudah berada di parkiran, menjemput kami dengan mobilnya.

“Ya, Allah. Ya, Tuhanku. Aku sangat bersyukur atas semua karunia dan nikmat yang masih Engkau berikan untukku. Engkau telah memberikan dua orang yang amat baik, sebagai pengganti kedua orangtuaku yang telah tiada. Engkau telah memberikan kehidupan yang layak untukku. Engkau juga telah mengabulkan impianku untuk menuntut ilmu di Unsri. Semuanya telah Engkau berikan padaku, semua kenikmatan-Mu. Semoga dengan semua ini akan membuat diriku semakin beriman dan bertakwa kepada-Mu, ya Allah. Semoga kelak Engkau izinkan diri ini untuk bertemu kembali dengan Mak dan Bapakku, aamiin Ya Rabb….”
Copyright © Cerpen Menarik dan Populer. All rights reserved. Template by Amanbet