Doaku Untuk Kau Bahagia
Cerpen Patah hati - Saat itu 2011 aku masih duduk di bangku kelas 9. Aku merupakan seorang siswa yang tergolong nakal, usil, suka berantem dan sering berbuat ulah namun juga tergolong siswa yang cerdas meski jarang belajar dan memperhatikan guru-guru yang menerangkan.
Sejak aku masuk dibangku kelas 8, ada seorang siswi adik kelasku yang baru masuk di SMPku. Pertama aku melihatnya jantungku serasa berdebar. Ya, aku suka padanya namun kata orang orang dewasa biasanya itu cuma cinta monyet. Tapi aku rasa tidak. Sebab sampai detik ini aku juga masih mencintainya.
Ujian Tengah Semester sudah terlaksana, sekarang waktunya class meeting. Saat itulah aku sering berkeliling sekolah bersama teman-teman cowokku dan mengusili adik-adik kelasku. Tepat di depan kelas 8e aku berkumpul dan duduk bersama teman-temanku untuk beristirahat berusil. Saat itu aku melihatnya lagi, seorang perempuan yang belum sempat aku tahu namanya. Saat itu juga aku beranikan untuk mengenalnya, Zani namanya.
Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan aku berteman dengannya dengan menyembunyikan semua perasaanku padanya. Perhatian, suara, canda dan tawanya selalu menjadi bulan dan bintang yang menghias langit hitam di malam hari setiap hariku. Nasihat-nasihatnya menuntuku untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa. Tapi entah kenapa aku semakin nyaman, senang dan bahagia saat bersamanya. Aku semakin terjerat dalam cinta yang semakin hari semakin mengutuk hatiku untuk melukiskan nama dan dirinya di dalam sana. Aku semakin bahagia berbagi hidup dengan Zani meskipun aku tidak tahu seperti apa hatinya padaku. Aku terlena dalam sebuah penjara kesakitanku sendiri. Aku bahagia tanpa mengetahui akhirnya akan seperti apa.
2 Tahun Telah berlalu aku masih dalam sihirnya. Zani selalu berbagi denganku. Keluh kesah dan bahagianya selalu ia ceritakan padaku. Ia sering disakiti laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya. Ia pernah menangis padaku saat ada seorang yang hendak merenggut kesuciannya, hatiku terbakar mendengarnya. Ingin aku berada di sampingnya dan menjaga setiap langkahnya hingga suci pernikahan nanti bersamaku. Tak kuasa aku menahan berjuta perasaanku padanya.
“Zan, kamu pernah merasa ada perbedaan gak sejak kita kenal dulu sama sekarang?”, kubuka sebuah obrolan kecil setelah ia curhat padaku tentang kegalauannya.
“Perbedaan? Contohnya?” tanyanya balik.
“Ada sebuah rasa di sini zan. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Aku ingin melihat tawamu karenaku, bahagiamu juga karena aku. Demi Allah aku mencintaimu dan ingin membimbingmu ke jalan yang diridhoiNya. Aku ingin kamu menghiasi hariku hingga nanti denyut nadiku telah terhenti. Aku mencintaimu, Zan!” Aku merintihkan banyak kata yang tak mampu kuucapkan. Bergejolak mencincang hatiku.
“Dim? Kok diem sih? Perbedaan apa?” Ia membangunkanku dari sebuah imaji indahku saat terbayang aku mengatakan semuanya padanya.
“Gak papa kok. Beda aja gitu, dulu kita kan masih SMP dan gak tau apa pun tentang… emm…”
“Tentang apa?”, tanyanya lagi.
“Tentang SMA lah. Namanya juga anak smp kan gak tau apa pun sama SMA. Hehehe… Cepet banget ya, sekarang kamu udah 17 tahun dan aku udah mau lulus, tapi makasih ya udah nemenin aku dan jadi sahabat baikku. Aku sayang kamu, Zan. Kamu sahabatku yang paling sering bikin aku khawatir. Jangan sering nangis dong, cepet tua loh nanti!” Candaku sembari menutupi perasaanku yang sebenarnya.
“Ihhh, kamu.. Aku nangis kan bukan salahku? Hmm, tapi iya deh.. Aku yang makasih tau… kamu udah mau jadi tempat sampah dari penderitaanku ini, dim. Aku sayang banget sama kamu. Kamu jangan berubah ya!” senyumnya.
“Aku senang jadi tempat sampah kesedihanmu, Zan. Buang semua kesedihanmu bahagialah! Aku ingin kamu bahagia.” aku tersenyum padanya tanpa berkata apa pun menyembunyikan semua kata yang ada di hatiku.
Sudah lama kita tidak bertemu, air mata selalu menghiasi malamku. Berpuluh lagu kuciptakan untuk mengurangi bebanku. Tak henti gitar terus terpetik jari yang menari merdu di setiap helai senarnya.
Di ujung penantianku mengumpulkan keberanianku untuk mengatakan padanya, aku beranikan untuk bersuara tentang hatiku. Saat itu aku hanya berbaring termenung bersamanya memandangi sunset di bawah hamparan senja. Aku melihatnya tanpa ia sadari. Tiba-tiba ia menoleh padaku. Aku melepaskan mataku dari matanya. Aku tidak berani memandangnya saat itu.
“Kenapa aku harus jatuh cinta kalo gak bisa berkata-kata?” bisikku sendiri dengan pelan. Tanpa aku sadari Zani mendengarnya.
“Kamu jatuh cinta, Dim? Cieee, sama siapa tuh? Ehem.. ehem..”
“Nggak kok, siapa bilang?”
“Kan kamu yang bilang sendiri barusan? Jujur aja deh sama aku. Siapa orangnya, Dim? Pasti cantik ya?”
Kejar dong! Ungkapin, jangan takut gitu!” sambungnya.
“Apa aku benar harus jujur?”
“Wajib!”
“Sekarang, Zan?”
“Iya sekarang, bilang sama aku gak usah malu!” ia tersenyum.
“Orang bilang jatuh cinta waktu kecil itu cuma cinta monyet kan? Tapi kenapa masih terbawa sampai sekarang ya?”
“Berarti itu cinta sejati.” jawabnya dengan nada memberi tahu anak TK.
“Kalo gitu kalo misalnya wanita yang aku cintai kamu, apa kamu cinta sejati aku? Hahaha..” seriusku dengan nada bercanda.
“Pastinya dong! Emangnya siapa sih?”
“Aku takut kehilangan kamu kalo aku bilang.”
“Gak usah takut, kamu segalanya buatku.” nada lembut yang diiringi senyum serta kalimat yang menjebakku pada sebuah rasa yang semakin dalam itu seperti api yang membakar amarahku. Aku marah padanya.
“Udah lah, Zan. Kamu jangan bilang aku segalanya, itu menjeratku. Membuatku masuk ke dalam rasa yang tersimpan di hatiku sejak dulu. Tau gak kamu kalo aku cinta sama kamu?” ucapku dengan nada sedikit tinggi.
“Apa?” Ia meneteskan air matanya.
“Aakuu Ciintaaaaa Kamu, Zan! Saaangat mencintaimu. Sejak dulu, sejak aku melihatmu menjadi adik kelasku. Saat pertama aku melihat candamu bersama teman-temanmu, Aku cinta kamu, Zan. Hhehh..” terengah-engah aku mengucapkannya.
Ia hanya menangis, menangis keras sambil memelukku erat. Entah apa dia terharu atau sedih karena seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Sekian lama kita diam, ia berkata dalam tangisannya di pelukanku.
“Seharusnya tidak begini, Dim. Ini salah.” isaknya.
Tak terasa air mataku mengucur deras. Aku lepaskan pelukanku, namun ia enggan melepasnya. Zani terus memelukku erat, aku hanya pasrah. Deru tangisan mengalahkan angin.
“Kamu tidak mencintaiku?” tanyaku.
“Entahlah, tapi sungguh aku tidak ingin kehilanganmu, Adim! Aku sayang kamu. Kamu bisa membuatku tertawa, bahagia, sedih juga khawatir. Kamu sahabatku!” tangisnya semakin keras, pelukannya kian erat.
“Lalu bagaimana dengan mereka yang sering menyakitimu? Kenapa kamu malah pernah mencintai mereka yang tidak peduli padamu?”
“Aku tidak punya jawaban untuk itu, aku hanya suka. Seandainya aku hanya menyayangimu, aku mohon kamu jangan pergi, Dim. Please!” Tangisnya semakin menjadi-jadi.
Aku lepaskan pelukannya, kuangkat tangannya tepat di hatiku. “Zan, jika memang seperti itu, persahabatan ini tidak akan baik. Aku akan pergi. Jika ini diteruskan, aku akan sakit mungkin mati, Zan. Aku akan mendoakanmu yang terbaik. Aku akan mencoba merelakan dan melupakanmu entah bagaimana caranya. Aku yang bersalah, seharusnya aku ungkapkan dulu saat cinta itu hanya cinta monyet. Maafkan aku telah salah mengartikan ini semua. Terima kasih juga telah menjadikanku sahabat terbaikmu juga memberikan sebuah tempat di hati dan ingatanmu. Jika kita esok bertemu lagi, semoga kamu bahagia, Zan. Jika memang tidak mungkin untukmu. Maaf, Zan!”
“Jangan pergi, Dim. Aku juga mencintaimu. Tapi aku tidak bisa melebihi sahabat. Aku tidak mau kamu pergi ninggalin aku. Aku tidak ingin kehilanganmu jika nanti kita akan putus. Please jangan pergi, Dim.” isaknya sambil kembali memelukku. Aku lepaskan pelukannya.
“Maaf, Zan. Aku akan pergi. Tidak mungkin jika seorang mencintai sahabatnya dan diketahui oleh sahabatnya bahwa ia mencintainya sedangkan mereka hanya bersahabat orang itu akan bertahan. Itu tidak mungkin, Zan. Rasanya sangat sakit. Aku harus melupakanmu, kamu harus menjauhiku! Aku harus pergi, hari sudah gelap.” aku kecup keningnya dan melepaskan tangannya. Aku hapus air mataku lalu mengantarnya pulang tanpa ada sepatah kata pun.
Kini hari-hariku sunyi, tanpa ada tawa asli di hidupku juga tanpa ada cinta selain Zani di hatiku. Hanya panjatan-panjatan doa setiap usai shalatku yang meminta untuk kebahagiaannya. Hingga kini rasa itu masih saja belum menghilang. Entah kenapa, 4 tahun lebih sudah berlalu, aku masih merindukannya dengan air mata.
“Ya Allah, berikanlah bahagia di hidupnya. Berikanlah pula kesehatan padanya. Jika seandainya ia bersedih, berikanlah sedih itu padaku dan tukarlah dengan kebahagiaan yang tertuju padanya. Amiin.”
Setiap malam doaku tak pernah tidak menyebut namanya. Zami. Aku ketahui saat ini ia sudah punya pacar bernama Rif. Semoga ia tidak menyakiti Zani.
END